Kekerasan Tidak Menyelesaikan Masalah
Bukittinggi – AIDA, “Dulu jika keluarga saya mendapatkan tindakan kekerasan dari siapa pun maka saya akan membalasnya dengan kekerasan lagi. Tapi setelah mengikuti kegiatan AIDA saya lebih paham bahwa kekerasan tidak menyelesaikan masalah.”
Itulah pernyataan salah seorang siswa setelah mengikuti kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 3 Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Selasa (12/04/2016). Ia mengaku dari kegiatan tersebut dalam dirinya kini tertanam tidak akan lagi menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah apa pun.Padahal, menurut dia, sebelumnya ketika ia mengalami tindak kekerasanbiasanyamembalas dengan kekerasan lagi.
Siswa berperawakan gempal ini mendapatkan inspirasi perdamaian setelah mendengarkan kisah korban Bom Bali 2002, Ni Wayan Rastini, yang tidak membalas dendam kepada pelaku terorisme yang telah mengakibatkan suaminya meninggal dunia akibat ledakan bom.
“Meski korban sudah kehilangan orang yang dicintainya tapi dia bisa menghadapinya dengan kesabaran dan keikhlasan. Bahkan korban pun telah memaafkan pelaku,” ujarnya dengan kagum.
Itulah gambaran pembelajaran yang didapat oleh peserta yang mengikuti kegiatan kampanye perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di lima sekolah menengah atas Kota Bukittinggi, pada 8-14 April 2016. Safari kampanye perdamaian dilaksanakan di SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4 dan SMAN 5 Kota Bukittinggi. Sebanyak 247 siswa dari lima sekolah tersebut diajak untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai, dimulai dari lingkungan sekolah masing-masing.
Dalam safari kampanye perdamaian AIDA menghadirkan Tim Perdamaian yang terdiri dari unsur korban bom terorisme dan mantan pelaku aksi kekerasan. Salah satu korban bom Ni Wayan Rastini, menceritakan bagaimana dirinya harus berjuang menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi kedua putrinya. Sejak suaminya meninggal terkena ledakan bom Bali, 12 Oktober 2002,ia bekerja keras untuk membesarkan dan membiayai pendidikan kedua anaknya, yang saat tragediterjadi masih berusia tujuh dan dua tahun. Kini anak pertama sudah kuliah dan anak kedua sekolah menengah pertama.
“Kami sekeluarga sudah memaafkan pelaku. Kami tidak ada dendam kepada mereka karena membalas dendam tidak akan menyelesaikan masalah dan membuat suami saya kembali lagi,” ucapnya di hadapan para siswa SMAN 3 Kota Bukittinggi.
Hal serupa dialami juga oleh Mahanani Prihrahayu, yang kehilangan suami akibat aksi terorisme di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003. Ketika suaminya menjadi korban bom, kedua putranya berumur lima dan tiga tahun. Ia harus menjadi ibu sekaligus ayah untuk membesarkandan membiayai pendidikan kedua anaknya.Mahanani ikhlas menerima takdir suaminya meninggal dunia akibat ledakan bom terorisme. Ia pun tidak dendam kepada pelaku bahkan telah memaafkan pelaku.
Begitu pun dengan korban bom Kedutaan Besar Australia, Hotel JW Marriott Jakarta, dan Baliyang tubuhnya mengalami luka bakar dan terkena serpihan logam seperti Albert Christiono, Tita Apriyantini dan Gatut Indro Suranto. Mereka juga telah memaafkan para pelaku aksi terorisme yang telah menyebabkan dirinya mengalami luka bahkan cacat fisik permanen.
Sementara Tim Perdamaian dari unsur mantan pelaku aksi kekerasan yang turut berkontribusi dalam safari kampanye perdamaian yakni Iswanto. Ia mengimbau para generasi muda untuk tidak mengikuti jejaknya dulu yang terlibat dalam kelompok prokekerasan. Sebab menurut dia apa yang dilakukan dirinya dan rekan-rekannya di jaringan prokekerasan dahulu sangat tidak baik bahkan merugikan orang lain.
“Dampak aksi kekerasan merugikan banyak orang termasuk melukai umat Islam sendiri. Masyarakat pun mengalami ketakutan. Karena itu, jangan membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan,” tutur Iswanto di SMAN 2 Kota Bukittinggi, Senin (11/04/2016).
Iswanto mengajak kaum muda untuk memahami ajaran agama bukan sebagai permusuhan dan kekerasan melainkan sebagai ajaran perdamaian. Menurut dia dalam mempelajariilmu keagamaan jangan parsial agar tidak keliru memahaminya. Selain itu, dalam memilih pertemanan pun harus berhati-hati sebab salah satu faktor dirinya terjerumus dalam kelompok prokekerasan dahulu akibat pertemanan.
Di sela acara kampanye perdamaian di sekolah, Iswanto dan para korban bersalaman sebagai simbol meminta maaf dan memaafkan, dan disaksikan para siswa. Kini korban dan mantan pelaku bergandengan tangan untuk mengkampanyekan pentingnya perdamaian kepada generasi muda di sekolah-sekolah. [AS]