Home Berita Memperjuangkan Hak Korban Terorisme
Berita - 31/05/2016

Memperjuangkan Hak Korban Terorisme

Metrotvnews.com, Jakarta: Suara wanita cantik berambut pendek ini terdengar seperti menahan tangis. Walau nampak tenang memperlihatkan slide rekaman sekelumit kisah hidupnya pasca serangan bom pertama di Hotel JW Marriot, tapi kesan emosional masih nampak.

Vivi Normasari namanya. Ketika terjadi ledakan pada 5 Agutus 2003 siang, dia hendak memasuki restoran Syailendra di hotel mewah di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, itu. Jaraknya sekitar tiga langkah dari pintu restoran.

“Semula terdengar ledakan kecil. Saya menoleh ke arah suara, ledakan besar terjadi,” kisah Vivi dalam workshop yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/5/2016).

“Sempat sadar di ambulance, lalu pingsan lagi. Di samping saya di UGD RS MMC ada korban luka bakar parah menggigil hebat, ranjang sampai bergetar keras,” sambungnya.

Ledakan tidak cuma meremukkan pergelangan dan jari dua tangannya. Rencana pernikahan Vivi berakhir tidak lama kemudian. Kepercayaan diri Vivi hilang. Dia tidak sanggup bertemu orang lain. Perlu tiga bulan untuk mengumpulkan lagi keberaniannya melintas di Mega Kuningan.

Pertemuannya sekitar setahun setelah kejadian dengan komunitas keluarga dan korban teror bom memercikkan lagi semangat hidupnya. “Saya kok lihat luka saya lebih ringan, tapi teman-teman itu tetap semangat,” kenangnya.

Sejak itu Vivi bangkit melanjutkan hidupnya. Langkah pertama kembali bekerja. Vivi aktif sebagai relawan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) yang melakukan advokasi terhadap para korban teror bom. Bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mereka membantu para korban mendapatkan perawatan medis yang layak, sejak bom Kedubes Australia hingga Thamrin.

Bangkit dari keterpurukan psikologis dan aktif membantu korban teror juga dilakukan Eka Laksmi. Ibu dua orang anak ini adalah janda korban tidak langsung dari peledakan bom Bali 1. Jasad sang suami, Himawan Sudjono, teridentifikasi sepekan setelah kejadian.

“Saat kejadian, rumah kami baru selesai dibangun. Hutang kami sangat banyak, sementara saya ibu rumah tangga biasa,” ujar wanita berjilbab ini.

Luka psikologis juga menimpa dua putranya yang ketika itu masih balita. Eka yang jiwanya amat terguncang pun menjadi sasaran pelampiasan emosi anak-anaknya dan karena itu harus selalu menguat-nguatkan diri.

“Malam sehari sebelum peringatan setahun bom Bali 1, saya ke Zero Ground (titik ledakan yang menewaskan 220 orang- red). Saya tidak kuat mengangkat kaki pergi dari situ, selama berjam-jam berdiri menangis. Saya telepon teman ‘tolong, bawa saya pergi dari sini’,” kisah Eka yang sempat terlibat dalam operasi rehabilitasi psikologis anak-anak korban tsunami Aceh-Nias.

Perjuangan YPI akan berlanjut ke parlemen melalui revisi UU Penanganan Tindak Pidana Terorisme. Pada 31 Mei esok, para penyitas diundang Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat persiapan revisi.

Misi YPI yang difasilitasi AIDA adalah memasukkan klausul tentang tanggungjawab yang berkelanjutan dari negara terhadap pemenuhan hak-hak korban aksi terorisme. Tak hanya korban langsung, tapi juga korban tidak langsung berupa tunjangan dan beasiswa bagi ahli waris.

“Negara selama ini tanggungjawabnya tanggung biaya perawatan di rumah sakit. Tapi setelah korban pulang, saat itu urusan dianggap beres. Ketika rawat jalan dan tindakan lebih lanjut, itu sudah bukan lagi negara yang tanggung. Korban terpaksa pakai uang sendiri. Padahal biayanya bisa sangat tinggi dan harus rutin seumur hidup,” ungkap Ketua YPI, Sucipto Hariwibowo.

Pria yang syaraf keseimbangannya rusak gara-gara ledakan bom Kedubes Australia ini lalu mamaparkan kondisi seorang korban yang memerlukan rekontruksi rahang. Operasi awal implan rahang yang pertama dibiayai penuh pemerintah Australia. Tapi ketika rahang plastik itu harus diperbaharui, program pendanaan tidak ada lagi.

Demikian pula kondisi Didik yang mengalami luka bakar 80 persen. Korban bom ini tidak bisa keluar rumah karena kesakitan bila terkena sinar matahari. Operasi plastik bisa saja dilaksanakan di dalam negeri, sayangnya pihak keluarganya tidak memiliki cukup biaya.

“Seharusnya dalam situasi ini pembiayaanya dibantu negara. Ini bentuk tanggungjawab negara atas kelalaiannya menjaga keamanan warganya,” tegasnya.

Masih banyak lagi korban yang membutuhkan peran negara. Sayangnya LPSK selaku lembaga negara yang diberikan wewenang menangani para korban merasa tidak punya payung hukum kuat untuk menyalurkan dana. Bila pun ada,  disyaratkan berbagai dokumen pendukung yang merepotkan bagi korban untuk memenuhinya.

“Padahal korban sudah butuh penanganan segera. Makanya perlu ada revisi UU yang menguatkan LPSK, menyederhanakan prosedur dan lebih luas mencakup korban,” sambung Deputi Direktur AIDA, La Ode Arham.

Demi memecah kebuntuan ini, AIDA mendorong penguatan LPSK melalui revisi UU Penanganan Tindak Pidana Terorisme. Pasal mengenai definisi korban tindak pidana terorisme dan pemenuhan jaminan yang jadi hak-hak korban perlu diperluas. Setidaknya ada dua hal yang jadi perhatian AIDA.

Pertama, pemenuhan kompensasi serta bantuan medis, rehabilitas fisik dan psikologi hak-hak penyintas tidak lagi mensyaratkan putusan pengadilan. Cukup assasment dari LPSK dan BNPT. Dua lembaga ini pula yang memberi persetujuan bantuan medis kepada penyintas.

Kedua, ketegasan ada jaminan pembiayaan perawatan dari negara ketika penyintas berada dalam masa-masa kritis. Periode pembiayaan dan besaran nilainya disesuaikan dengan kondisi masing-masing penyintas.

Tujuan penegasan UU agar rumah sakit tahu bahwa pasien dijamin oleh negara dan karenanya bisa cepat mengambil tindakan yang diperlukan. “Tanpa ada jaminan, pasien terlunta-lunta,” imbuh Arham. [TS]

Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2016. Berita ini ditulis oleh: Luhur Hertanto (LHE).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *