Korban & Mantan Teroris, Penting dalam Deradikalisasi
Metrotvnews.com, Jakarta: Wajah pria bertubuh gempal itu terus dihiasi senyum. Tawa kecil yang sesekali menimpali paparannya dalam logat Jawa Timur yang khas, tidak menutupi kesan penyesalan mendalam.
Ali Fauzan namanya dengan banyak alias di belakangnya. Sebelum menjadi komandan dalam kerusuhan Ambon, dia adalah alumni ‘akademi militer’ Moro, Filipina Selatan. Selama menjadi anak buah Abu Sayaf, tugasnya memodifikasi bom-bom yang dihujankan militer Filipina.
“Kalau ada mortir dan roket yang jatuh tidak meledak, saya bongkar lalu modifikasi jadi bom anti personil,” ujar pria asli Lamongan ini.
Sekian lama memodifikasi bom, otomatis juga membentuknya sebagai perakit bom yang handal. Walau tidak pernah terlibat langsung dalam aksi serangan bom di Indonesia, hampir semua perakitnya ada kaitan dengan dirinya.
“Saya kakak kelas Noordin M. Top dan Azhari,” ujar Ali dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Menteng, Jakarta Pusat.
Beberapa orang korban teror bom hadir dalam diskusi tersebut, Eka Laksmi seorang di antaranya. Dia korban tak langsung bom Bali 1, suaminya tewas dalam teror yang merenggut 220 korban jiwa.
Ketika 2014 lalu dipertemukan dengan Ali Fauzan, ibu dua orang anak ini tidak bisa menahan emosinya. “Salah kok malah cengengesan. Maksdunya apa? Bangga? Salah kok bangga!” ujar Eka mengenang emosinya yang meledak ketika itu.
Mempertemukan mantan teroris dengan korban dan keluarga korban, merupakan salah satu program deradikalisasi yang diselenggarakan AIDA bersama Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dan BNPT. Bertemu dan berdialog dari hati ke hati dengan korban sangat besar pengaruhnya kepada mantan teroris.
Lebih jauh lagi para korban dan mantan teroris dilibatkan dalam kegiatan deradikalisasi di kalangan pelajar. Sejak tahun lalu, sudah lima puluhan SMA di berbagai kota menjadi lokasi penyelenggaraan. Hasilnya mencengangkan.
“Rupanya banyak anak SMA yang melihat kasus terorisme itu seperti film yang kejadiannya entah di mana. Ada yang karena lingkungannya dia sangat pro kekerasan,” papar Deputy Director AIDA, La Ode Arham.
“Setelah melihat paparan dari korban dan mantan pelaku, mereka berubah drastis. Melihat penderitaan korban dan penyesalan dari mantan pelaku adalah langkah penting membentengi pikiran anak-anak dari doktrin kekerasan,” imbuhnya.
Memang tidak mudah bagi korban dan keluarga korban untuk menerima mantan pelaku terorisme. Perlu ada proses psikologis dan perjalanan bathin yang panjang agar bisa menerima hingga menjadi pertemanan seperti Eka dengan Ali Fauzan.
“Kami sadar bahwa ini perlu. Tapi kami perlu waktu untuk menerima Pak Ali, Pak Ali (mantan terorisme yang telah bertaubat -red) yang lain,” kata Sucipto Hariwibowo, korban teror bom Kedubes Australia 2004.
Sumber: http://news.metrotvnews.com/korban-mantan-teroris. Berita ini ditulis oleh Luhur Hertanto