Home Berita Rapat dengan Pansus DPR, AIDA Usulkan Penguatan Hak Korban
Berita - 08/06/2016

Rapat dengan Pansus DPR, AIDA Usulkan Penguatan Hak Korban

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi (ketiga dari kiri), sedang menyampaikan aspirasi dalam RDPU dengan Pansus Revisi UU Antiterorisme di Jakarta, Selasa (31/5/2016). Hasibullah didampingi korban Bom Kuningan 2004, Sudarsono Hadi Siswoyo (kedua dari kiri).

Panitia Khusus (Pansus) RUU Perubahan UU Terorisme (RUU Terorisme) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), di Gedung Nusantara I Senayan, pada Selasa, 31 Mei 2016. Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bersama sejumlah kelompok sipil lain, di antaranya Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan OIC Youth hadir sebagai undangan dalam kegiatan tersebut.

Dalam RDPU ini, Direktur AIDA Hasibullah Satrawi, menyatakan, naskah revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang diajukan oleh pemerintah ke DPR, sama sekali tidak mencantumkan penguatan hak-hak korban. “Yang diperkuat hanya soal penegakan hukum, mulai dari upaya pencegahan hingga penindakan aksi terorisme,” katanya.

Padahal dalam Bab VI Pasal 36-42 UU tersebut yang membahas soal hak-hak korban (kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi), terdapat beberapa kelemahan yang harus direvisi. Selain itu, dalam UU ini juga tidak mencantumkan definisi yang memadai tentang korban, kompensasi, dan rehabilitasi.

Beberapa hal penting yang dipersoalkan AIDA dari UU No. 15 Tahun 2003 adalah tidak adanya hak khusus mengenai bantuan medis yang bersifat segera pada masa kritis (sesaat setelah peristiwa teror) dan rumitnya prosedur pemberian kompensasi kepada korban.

Terkait jaminan masa kritis, hal itu untuk mengantisipasi adanya korban terorisme yang perawatan medisnya terabaikan. Dalam beberapa kasus selama ini, saat masa kritis, sebagian korban terorisme terabaikan perawatan medisnya akibat tidak adanya jaminan pembiayaan dari pemerintah, bahkan hingga beberapa hari usai peristiwa. Justru yang lebih banyak membantu adalah pihak swasta, NGO, maupun kedutaan besar negara asing.

Sementara terkait kompensasi, menurut UU, pemberian kompensasi bergantung pada putusan pengadilan yang diletakkan dalam proses peradilan pidana pelaku teror. Secara faktual, dari sekian kali persidangan kasus terorisme di Indonesia, baru satu amar putusan yang mengamanatkan kompensasi, yakni putusan atas terpidana pelaku teror Bom JW Marriot 2003 atas nama Masrizal alias Tohir. Namun amanat itu tak terlaksana karena tidak mencantumkan nama-nama korban yang berhak menerima.

Atas dasar itu, terkait RUU Terorisme AIDA mengusulkan beberapa pokok pikiran terkait penguatan hak korban, yaitu:

1. Pencantuman definisi korban dan kompensasi yang memadai
2. Adanya pasal yang mengatur jaminan pembiayaan medis korban terorisme sejak masa kritis.
3. Pemberian kompensasi tidak melalui mekanisme putusan Pengadilan Negeri, cukup dengan putusan lembaga negara yang berwenang dalam pelaksanaan perlindungan dan pemulihan korban terorisme.

Usulan AIDA lebih detail bisa dibaca dalam Daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terkait hak korban. Lihat juga beberapa usulan AIDA dalam Rekomendasi/Usulan Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme [MSY]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *