Home Berita RUU Antiterorisme: Permudah Bantuan untuk Korban
Berita - 01/06/2016

RUU Antiterorisme: Permudah Bantuan untuk Korban

JAKARTA, KOMPAS – Pemberian perlindungan dan ganti rugi bagi korban aksi teror akan disederhanakan melalui revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini untuk memberi wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengurus perlindungan dan jaminan ganti rugi bagi korban aksi teror.

“Selama ini, birokrasi pemberian bantuan terlalu panjang sementara korban harus ditangai seketika. Harus ada kebijakan baru agar hak korban cepat dipenuhi oleh negara,” kata Ketua Pansus RUU Antiterorisme DPR Muhammad Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/5/2016).

Birokrasi yang panjang, papar Pembina Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Vivi Normasari, sangat menyulitkan korban yang membutuhkan pengobatan. Vivi, yang juga menjadi korban ledakan bom JW Marriot Jakarta pada 2009, mengatakan, rumah sakit kerap enggan memberi pengobatan lanjutan karena tidak tahu siapa yang menanggung biaya pengobatan korban aksi teror.

Untuk menebus biaya pengobatan melalui LPSK, birokrasi yang dilalui pun cukup panjang. Pasalnya, LPSK tidak bisa memproses pengajuan permohonan bantuan dari korban tanpa surat keterangan kepolisian yang memvalidasi identitas korban aksi teror.

Sering diabaikan

Saat ini ada 1.906 korban dari enam kali ledakan bom oleh teroris di Indonesia dalam 14 tahun terakhir. Sebanyak 274 orang diantaranya tewas dan 822 orang merupakan korban luka. Namun, tidak satupun korban mendapat kompensasi dan jaminan pengobatan sampai pulih sepenuhnya dari negara.

“Kami, korban, sering seperti diabaikan. Padahal, butuh perawatan hingga pulih,” kata Vivi.

Ketua Umum Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang mendampingi korban aksi teror, Hasibullah Satrawi, menambahkan, kendala di lapangan juga terletak pada urusan meminta kompensasi dari negara. UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur, pengajuan kompensasi dari korban diajukan ke pengadilan hak asasi manusia lewat LPSK.

Namun, pengajuan kompensasi memerlukan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Proses hukum membuat korban dan keluarganya menunggu lama mendapatkan ganti rugi.

Anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsu Sani mengatakan, sejumlah fraksi mengusulkan perlunya dana tanggap darurat untuk LPSK seperti dialokasikan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Terkait hal tersebut, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya siap melaksanakan kewenangan sepanjang diatur undang-undang.

Di Magelang, Jawa Tengah, Kepala Subdirektorat Pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andi Intan Dulung mengatakan, teroris yang menjalani masa tahanan kerap menjadikan penjara sebagai tempat perekrutan anggota baru. Hal ini seharusnya lebih diwaspadai. [TS]

 

Sumber, Harian Kompas cetak edisi Rabu, 1 Juni 2016. Berita ini ditulis oleh (AGE/EGI).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *