Home Publikasi Buku Minimnya Hak Korban dalam Revisi UU Antiterorisme
Buku - Publikasi - 08/06/2016

Minimnya Hak Korban dalam Revisi UU Antiterorisme

Dalam perbincangan terorisme yang muncul ke publik, isu korban nyaris terabaikan. Isu korban tindak pidana terorisme tenggelam dalam hiruk pikuk pembahasan seputar pelaku dan jaringannya, serta aksi aparat negara dalam upaya pencegahan dan penindakan terorisme. Sekilas hal ini
menunjukkan, perbincangan terorisme lebih berorientasi kepada pelaku (offender oriented) ketimbang korban (victim oriented). Padahal korban merupakan subyek yang paling terzalimi akibat kesadisan aksi terorisme.

Besarnya orientasi pada pelaku terorisme dan minimnya sensitivitas terhadap penderitaan korban tampaknya merembet ke pemangku ororitas (pemerintah). Indikatornya, titik tekan dalam naskah revisi UU No. 15 Tahun 2003 yang diajukan pemerintah ke DPR RI adalah kewenangan aparat hukum dalam pencegahan dan penindakan terorisme. Bab VI UU No. 15 Tahun 2003 yang membahas soal kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi korban terorisme tak tersentuh revisi sama sekali. Seolah-olah
tak ada masalah dalam lima pasal (36-42) yang menjelaskan hak-hak korban tersebut.

Padahal, sebagai contoh kasus, mengutip data Yayasan Penyintas Indonesia (wadah korban terorisme di Indonesia), dari total 544 korban terorisme di Indonesia yang tercatat, baik korban meninggal, cacat permanen, luka berat dan ringan, belum ada satu pun yang mendapatkan kompensasi dari negara. Kompensasi adalah hak korban yang secara gamblang dan detail diatur dalam pasal 36, 38, 39, 40, 41, dan 42 UU No. 15 Tahun 2003. Namun hingga kini negara belum melaksanakan hak tersebut karena terkendala oleh rumitnya prosedur hukum. 

SELENGKAPNYA: Minimnya Hak Korban dalam Revisi UU Antiterorisme

Unduh Dokumen

Minimnya-Hak-Korban-dalam-Revisi-UU-Terorisme-1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *