Korban Terorisme: Pandangan atas Pemerintah dan Islam
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Aksi kelompok teroris yang meledakkan bom di depan Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004 lalu masih tertanam dalam benak Iwan Setiawan. Pria kelahiran Brebes, Jawa Tengah, 3 Maret 1975 ini tak menyangka dirinya bakal menjadi korban bom yang sempat mengguncang situasi politik dan keamanan di Indonesia saat itu.
Masih segar dalam ingatan Iwan ketika itu, ratusan orang menjadi korban baik meninggal dunia maupun luka-luka bergelimpangan di hadapannya. “Waktu itu sedang mengantar istri untuk periksa kandungannya yang telah masuk delapan bulan,” kata Iwan terbata-bata saat gresnews.com bertandang ke rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Iwan berkisah, saat kejadian bom Kuningan, dirinya sedang melintas di depan gedung Kedutaan Australia menuju sebuah rumah sakit untuk memeriksa kandungan istrinya yang telah berusia delapan bulan. Namun naas tak terelakkan, saat melintas persis di depan area kedutaan, tiba-tiba sebuah bom meledak.
Iwan terpental dari posisinya yang sedang mengendarai motor saat ledakan besar menghantam. “Waktu itu tidak ada yang membantu. Banyak orang yang minta tolong, tapi mereka sibuk menyalamatkan dirinya sendiri,” kenang Iwan. Namun dengan kondisi yang lemah dan lunglai, dia berusaha membangkitkan istri yang juga terpental dengan kondisi hamil delapan bulan. Dia berusaha menguatkan diri dan membawa istrinya ke Rumah Sakit Aini untuk mendapat pertolongan medis. Bagi Iwan, pengalaman itu tak bisa dilupakan meski dia ingin melupakannya dan menghapus trauma itu dari catatan hidupnya.
Akibat kejadian itu, dia mengalami kebutaan pada sebelah matanya. “Itu bagian yang paling pedih dalam hidup saya, makanya saya ingin melupakannya,” ujarnya.
Toh, Iwan menolak untuk menyerah. Dalam kondisi buta sebelah mata, dia tak putus asa. Dengan kondisi fisik yang terbatas, Iwan masih tetap semangat dan cekatan mengotak-atik komputer dan laptop untuk diperbaiki. Kini Iwan memang membuka usaha service komputer di daerah Pondok Cina, Depok yang dibangunnya setelah hampir dua tahun tak kunjung mendapat pekerjaan.
“Sekarang kan pakai mata palsu. Tidak berfungsi lagi, jadi buat kecantikan (aksesoris). Jadi susah sekali bukanya,” kata Iwan.
Untuk merawat mata palsunya itu, Iwan harus menggantikan bola matanya setiap dua tahun sekali. Namun dia mengaku bersyukur karena pembiayaan ditanggung oleh Kedutaan Australia.
Apa yang dicapainya sekarang, tentu bukan sesuatu yang mudah. Dengan kondisi fisik yang mulai terbatas, dia harus jatuh bangun membangun kembali hidupnya hingga seperti sekarang ini. Dia mengaku membutuhkan waktu cukup lama untuk membangun kembali perekonomiannya.
Sejak peristiwa pengeboman itu, dia harus kehilangan pekerjaannya di salah satu bank swasta di Jakarta. Hampir dua tahun sejak kejadian itu, Iwan hidup menggelandang. Dia mengaku begitu sulitnya mencari pekerjaan dengan kondisi yang belum begitu pulih seratus persen.
Waktu itu, di bagian matanya masih menghitam akibat sel-selnya mulai mati. “Kalau melihat fisik saya kan aneh, jadi merasa susah sekali mencari pekerjaan dengan kondisi seperti ini. Apalagi, beberapa perusahaan yang saya masuki tak melihat skill tapi penampilan fisik saya. Mereka (perusahaan) tidak melihat berdasarkan skill,” cerita Iwan.
Setelah hampir dua tahun mondar mandir tak kunjung mendapat pekerjaan, akhirnya dia memutuskan untuk berwirausaha dengan membuka toko service komputer. “Pas pada titik paling lemah, akhirnya saya menemukan ide. Karena background saya komputer, akhirnya saya putuskan untuk membuka service komputer dan jual beli komputer,” kenangnya.
Namun penderitaannya belum usai, ketika usaha service komputernya mulai berkembang pesat, sang istri yang selama itu mendampinginya mendadak dipanggil Yang Maha Kuasa. “Itu tahun 2006,”kata iwan.
Sejak itu, rasa putus asa mulai lagi menghampiri hidupnya. Pekerjaan pun mulai menurun. Selain itu, Iwan juga harus menjalankan peran sebagai seorang bapak sekaligus manjadi ibu bagi kedua anaknya. Untungnya itu tak berlangsung lama.
Karena dukungan keluarga dia pun kambali menguatkan diri dan menata hidupnya. “Kalau ditanya siapa yang berperan ya keluarga. Orang-orang yang kita sayangi sangat membantu. Yang saya alami itu dukungan dari keluarga, Ibu dan bapak. Dan melihat masa depan anak saya masih jauh butuh orang yang membimbing,”katanya.
TAK MENDENDAM
Sungguhpun begitu, Iwan tak pernah merasa dendam terhadap apa yang menimpanya. Dia meyakini bahwa kekerasan yang dilakukan kelompok teroris atas nama agama, tak sepatutnya dibalas dengan kekerasan pula. “Tak sepatutnya kekerasan dibalas dengan kekerasan,” tegasnya.
Dia juga mengaku tak menyimpan dendam sedikit pun pada kelompok teroris. “Saya berpikir itu sudah jalannya untuk saya. Tapi sebagai manusia juga pasti ada masa sulit pasti ada goncangan begitulah,” katanya. Tetapi dia mengaku merasa kesal terhadap pemerintah yang menurutnya kurang respek terhadap korban terorisme.
Dia mengungkapkan, sebagai korban, selama ini lebih banyak dibantu pihak Australia ketimbang pemerintanya sendiri. Itu termasuk biaya perawatan hingga pemulihan pasca ledakan bom. Bahkan untuk memulihkan ekonominya yang berantakan pasca peristiwa itu, dia harus berjuang sendiri.
Selama ini, dia mengaku belum pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah. Padahal, kata Iwan, dirinya dan kawan korban sebenarnya sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah “Belum ada bantuan dari pemerintah. Tapi kita berharap sekali. Kita bukan meminta tetapi minta diperhatikanlah dikasih bantuan walaupun dengan sistem bunga tapi dengan pinjaman lunak untuk usaha,” katanya.
Sedikit berbeda dari Iwan, korban ledakan bom di JW Marriott Vivi Normasari mengaku masih sulit berdamai dengan masa lalunya. Trauma yang dialami akibat kejadian pengeboman itu mendekam lama dalam pikirannya. Bahkan waktu awal-awal peristiwa itu, dirinya mengaku sempat berpandangan sinis terhadap Islam. “Waktu awal iya,” aku Vivi.
Dia tak habis pikir dengan jalan kelompok yang mengatasnamakan Islam fanatik yang mencari pembenaran dengan alasan jihad dan memusuhi sesama orang Islam. Dia mengaku sempat alergi dengan Islam karena cara yang dipakai adalah dengan melakukan kekerasan.
Karena menurut Vivi, tak ada agama yang mengangajarkan kekerasan kepada umatnya. “Saya sempat berpikir orang-orang yang fanatik terhadap Islam kok malah cenderung lebih senang bermusuhan dan selalu senang konflik,” kata Vivi.
Namun, perlahan pandangan Vivi kini berubah. Dia menilai perilaku kekerasan hanya dilakukan oleh segelintir orang dengan mengunakan nama Islam. Dia mengatakan, orang-orang seperti ini bukanlah representasi kaum muslimin yang cinta damai.
Sama seperti Iwan, dia juga mengakui minimnya perhatian pemerintah terhadap korban terorisme. Padahal, perhatian pemerintah sangat penting seperti bantuan untuk merehabilitasi trauma pasca serangan bom. [TS]
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/sosial/9047-korban-terorisme