Home Inspirasi Terorisme, Peran Korban dan Mantan Pelaku

Terorisme, Peran Korban dan Mantan Pelaku

Operasi antiteror mutakhir merupakan sebuah prestasi sekaligus evaluasi bagi upaya pemberantasan terorisme dengan pendekatan senjata. Disebut prestasi karena pendekatan ini telah berhasil melumpuhkan banyak tokoh ataupun terduga teroris

Operasi antiteror mutakhir merupakan sebuah prestasi sekaligus evaluasi bagi upaya pemberantasan terorisme dengan pendekatan senjata. Disebut prestasi karena pendekatan ini telah berhasil melumpuhkan banyak tokoh ataupun terduga teroris. Disebut evaluasi karena pendekatan ini acap menciptakan rantai dendam kesumat, termasuk antara para terduga teroris dengan aparat kepolisian.

Semua pihak sejatinya mengambil pembelajaran berarti dari semua ini sekaligus memulai cara lain yang lebih damai dalam upaya menyelesaikan persoalan terorisme di negeri ini. Hingga yang terbunuh tak hanya orangnya (para teroris), melainkan juga faktor, ideologi dan hal-hal lain yang menyebabkan seseorang mengalami keterputusan akal sehat dan menjadi teroris.

Mantan pelaku

Beberapa waktu lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendatangkan para syeikh dari Timur Tengah yang masuk dalam kategori mantan pelaku terorisme. Diharapkan, pandangan-pandangan moderat dari mantan pelaku bisa melunakkan pemikiran-pemikiran radikal yang kerap menghalalkan aksi kekerasan.

Salah satunya adalah Syeikh Nageh Ebrahim yang menjadi salah satu aktor kunci di balik terjadinya fenomena pertobatan massal anggota Jamaah Islamiyah Mesir pada tahun 1997 dan 1999. Syeikh Ebrahim dan kawan-kawan kemudian melansir beberapa buku yang menjelaskan pemikiran moderatnya sekaligus menunjukkan kesalahan pemikiran radikal yang pernah diyakininya. Salah satunya adalah buku yang berjudul Al-Mubadarah Liwaqfil Unfi (Maklumat Deradikalisasi), Hurmatul Ghuluw fi Ad-din wa Takfiril Muslimin (Pengharaman Radikalisme Keagamaan dan Pengafiran Sesama Umat Islam), Tasliythul Adhwa` ’Ala ma Waqa’a fi Al-Jihad min Akhta` (Mengungkap Kesalahan dalam Memahami Jihad), An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat Deradikalisasi dalam Penegakan Amar Makruf dan Nahi Mungkar), serta Iydlahul Jawab ’an Su`alati Ahli Al-Kitab (Jawaban atas Pernyataan tentang Agama-agama Samawi).

Secara substansi, mungkin pemikiran-pemikiran moderat dari mantan pelaku seperti Nageh Ebrahim tidak terlalu baru, khsusnya bagi mereka yang konsern dengan ilmu-ilmu keislaman. Mengingat pemikiran-pemikiran tersebut telah banyak dibahas oleh para tokoh lain, termasuk dari abad-abad terdahulu. Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi menarik karena disampaikan oleh tokoh yang pernah malang melintang di dunia terorisme dan radikalisme.

Ibaratnya adalah, pemikiran-pemikiran tersebut tampak seperti senjata biasa yang tidak masuk dalam kategori “sakti mandraguna”, mengingat banyak orang yang memiliki senjata serupa. Kesaktian dan keistimewaan dari senjata tersebut baru tampak sangat memukau ketika disampaikan dan digunakan oleh “mpu”nya. Kurang lebih inilah yang membuat penulis selama ini kerap mendorong para pihak terkait (termasuk pejabat tinggi negara) untuk menghadirkan tokoh-tokoh seperti Nageh Ebrahim ke Indonesia.
Setidaknya ada tiga wilayah yang akan menjadi titik operasi efektif bagi pemikiran-pemikiran moderat dari mantan pelaku, khususnya bila disampaikan secara langsung oleh mereka. Pertama, masyarakat umum.Pada tingkatan masyarakat umum, kehadiran dan pemikiran-pemikiran dari mantan pelaku akan semakin mengukuhkan pandangan moderat yang selama ini diyakini masyarakat, sekaligus memberikan pengetahuan kepada khalayak tentang pemikiran-pemikiran radikal secara lebih utuh.

Hal ini sangatlah penting diketahui oleh masyarakat luas. Selain untuk mengukuhkan pandangan moderat dan mempertahankan kondisi damai yang ada, juga untuk membangun pertahanan (argumen) yang cukup manakala mereka berhadapan dengan kelompok radikal

Kedua, simpatisan ataupun calon anggota kelompok radikal. Pada wilayah ini, kehadiran mantan pelaku dan pemikiran-pemikiran moderatnya akan memperlambat proses “keanggotaan” mereka di kalangan kelompok radikal. Bahkan tidak menutup kemungkinan, mereka justru membatalkan niatnya untuk bergabung dengan kelompok radikal setelah membaca atau bertemu dengan mantan pelaku seperti ini.

Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan dalam beberapa tahun terakhir, mereka yang bergabung ke dalam kelompok radikal bukan karena adanya wawasan yang mendalam, termasuk tentang konsep jihad dan ideologi lain yang dipahami secara radikal. Di sinilah letak penting kehadiran dan pemikiran moderat dari mantan pelaku. Ibarat botol kosong, pemikiran moderat mantan pelaku bisa mengisi penuh botol-botol itu sebelum terisi oleh pemikiran-pamikiran radikal, atau setidaknya terus mengisi botol yang sudah berisi. Hingga isi yang ada tergantikan oleh pemikiran moderat mantan pelaku.

Ketiga, kelompok teroris aktif, khusunya yang berada di penjara. Pada wilayah ini, kehadiran dan pemikiran moderat mantan pelaku bisa menjadi “contoh lain” dalam melakukan sebuah perjuangan yang juga bisa dilakukan oleh mereka. Mengingat mantan pelaku sebelumnya juga berasal dari dunia yang sama denga mereka.

Peran korban

Namun demikian, seberapa pun hebatnya peran dari mantan pelaku dan pemikiran moderatnya tetaplah penuh dengan kekurangan. Setidak-tidaknya karena seorang mantan pelaku hanyalah bisa bercerita pengalamannya di masa lalu yang bukan tidak mungkin justru memberikan “inspirasi baru” bagi kelompk teroris dan radikal. Alih-alih membuat para teroris dan kelompok radikal bertobat, dalam kondisi seperti ini kehadiran mantan pelaku justru bisa “mematangkan” konsep yang sudah jadi.
Di sinilah pentingnya mantan pelaku disandingkan dengan pasangannya, yaitu korban terorisme. Sebagai orang yang mengalami langsung dampak dari aksi terorisme, korban bisa mengisi ruang-ruang yang tak bisa diisi oleh mantan pelaku. Pun demikian sebaliknya, mantan pelaku bisa mengisi ruang-ruang yang tak bisa diisi oleh korban.

Mantan pelaku adalah cermin utuh dari seorang teroris aktif. Sedangkan korban merupakan cermin utuh dari semua kejahatan terorisme. Dengan demikian, keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi demi sebuah cita-cita perjuangan yang sama; agar tidak ada orang lagi yang menjadi pelaku terorisme, agar tidak ada lagi orang yang menjadi korban, dan agar perdamaian terus terjaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Persoalannya adalah (berdasarkan pengalaman yayasan AIDA menjalankan program seperti ini), menyatukan dan memasangkan dua potensi besar ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, khususnya bagi para korban yang mengalami langsung kejahatan aksi terorisme. Sebagaimana tak mudah membuat para korban “bersuara” demi perdamaian. Apalagi para korban mempunyai latar belakang yang berbeda-beda secara sosial maupun pendidikan, mulai dari yang berlatar belakang aktivis, pengusaha, pengajar, hingga masyarakat biasa.

Ibarat permainan sepak bola, keduanya membutuhkan penanganan yang sangat serius untuk bisa ditampilkan sebagai lini depan yang handal dalam upaya membangun dan menjaga perdamaian. Mulai dari penanganan yang bersifat mental, mengasah potensi, hingga bekerjasama dan saling memaafkan sebagai satu tim perdamaian.

Hal ini tak berarti menihilkan peran dari pihak-pihak lain. Bisa dipastikan, tidak ada satu pihak mana pun yang dapat berperan tunggal dalam membangun Indonesia yang damai dan aman, khususnya dari ancaman terorisme dan radikalisme. Kerja besar seperti ini membutuhkan peran dari semua pihak, mulai dari lembaga-lemabaga pemerintah hingga masyarakat luas, termasuk komunitas korban dan mantan pelaku. Mari bersama-sama membangun dan menjaga Indonesia yang damai.

Penulis adalah Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA).
*Tulisan ini pernah dimuat di harian sore nasional, Suara Pembaruan, edisi  03 Januari  2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *