Geluti Bisnis, Jadi Motivator, dan Tangani IT Desa
Pada Kamis pagi itu (18/8), suasana kantor Desa Minggiran, Kecamatan Papar tampak sepi. Tak begitu banyak orang yang datang di sana. Di dalam ruangan, hanya terlihat tiga perangkat desa yang masing-masing disibukkan dengan tumpukan kertas di atas meja.
Tak terkecuali Didik Hariyono yang duduk paling ujung di ruangan balai desa itu. Pria yang mengenakan kemeja lengan panjang lembayung ini tampak tengah berkonsentrasi di depan layar monitor komputer. Tangan kanannya cekatan menggeser-geser mouse. Sedangkan tangan kirinya lihai mengetik sesuatu.
Ya, pria yang masih menyimpan trauma ledakan bom di Jakarta pada 2003 itu kini bekerja sebagai pegawai yang khusus menangani teknologi informasi (TI). Itu bermula sejak tahun 2015, ketika dia ditawari untuk menjadi pegawai administrasi di kantor Desa Minggiran.
“Alhamdulillah ditawari kerja yang nggak begitu berat sama Pak Kades (kepala desa, Red), jadi ya mau saja,” tutur pria yang kerap disapa Didik ini.
Berharap Tak Adalagi Bom Bunuh Diri
Kepada wartawan Jawa Pos Radar Kediri, Didik mengaku, dahulu memang pernah bekerja di Jakarta. Dia menjabat sebagai staf personalia di sebuah perusahaan jasa keamanan. Kantor tempatnya bekerja bersebelahan dengan Hotel JW Marriot di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Hingga tragedi bom itu terjadi pada 2003. Dalam hitungan detik kehidupan Didik direnggut.
Saat disinggung kejadian berdarah itu, dia tersenyum kecil dan sedikit menghela napas. Bagaimana tidak, akibat besarnya daya ledak bom tersebut, menyebabkan tubuh Didik terpental hingga sepuluh meter.
Tak pelak, dirinya terluka parah. Diagnosa dokter menyatakan Didik menderita lebih dari 70 persen luka bakar dengan kedalaman luka mencapai tiga sentimeter (cm). Bahkan beberapa ruas tulang kaki, bahu, dan tangan patah. Didik pun sempat mengalami disfungsi motorik organ.
Setidaknya butuh waktu empat tahun baginya untuk sekadar mendapat perawatan awal. Bahkan harus menjalani operasi sampai 20 kali di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Kebayoran, Jakarta Selatan.
“Itu belum sampai sembuh total,” papar pria berkacamata ini. Hingga akhirnya pada tahun 2007, Didik memutuskan untuk melanjutkan penyembuhan di kampung halamannya, di Minggiran, Papar, Kabupaten Kediri.
Selama satu tahun penuh, Didik belum mampu beraktivitas normal. Maka selama itu, dia hanya mengandalkan bantuan dari orang tua dan kedua saudaranya. Setahun itu pula, tubuh Didik tidak boleh terpapar sinar matahari secara langsung. “Jadi saya harus di dalam rumah terus,” ungkap pemuda yang masih berstatus lajang ini.
Kendati begitu, Didik tidak berputus asa. Dia tidak menyerah. Semangat hidupnya masih membara. Hingga akhirnya, pada tahun 2008, Didik berusaha untuk bangkit dengan mencoba berbisnis. Dia mencoba peruntungannya di bidang perikanan dengan beternak lele.
Namun karena tidak begitu paham tentang budidaya ikan, usahanya pun mengalami kegagalan. Tak patah arang, Didik kembali mencoba peruntungan lain. Anak kedua dari tiga bersaudara ini beralih ke bisnis tanaman tebu. Tetapi hasilnya sama saja.
Bukannya untung, di musim panen 2013 silam, Didik malah menanggung kerugian. Itu lantaran harga jual tebu lebih murah dibanding modal awal yang dia keluarkan. Di tengah dirinya mencari aktivitas usaha, pada 2015 lalu, Kades Minggiran Mokh. Munirudin menawarinya pekerjaan.
Dia meminta Didik menangani teknologi informasi di kantor desa. Ini lantaran belum ada perangkat desa yang mahir mengoperasikan komputer. Didik pun menerima pekerjaan ini. Apalagi, ia menganggap, tugasnya mengoperasikan komputer tidak begitu memerlukan kekuatan fisik yang besar. Meskipun gajinya sekarang tak sebesar yang dia peroleh semasa di Jakarta, Didik tidak mengeluh. Dia bersyukur masih bisa bekerja mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. “Dengan kondisi saat ini, saya selalu mensyukuri apa yang saya bisa kerjakan. Saya senang bisa bekerja dan bermanfaat bagi orang lain,” tuturnya.
Sebagai korban ledakan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot Jakarta, 13 tahun silam, tak jarang Didik diundang oleh sebuah LSM untuk mengisi acara-acara seminar di luar kota. Seringkali di Surabaya dan Bandung. Biasanya, dalam acara itu juga hadir beberapa korban bom lainnya.
Tak jarang, Didik juga didapuk sebagai motivator. Bersama korban yang lain, mereka menceritakan pengalamannya sebagai saksi hidup keganasan aksi radikal bom bunuh diri itu.
Selain itu, Didik bersama belasan penyintas dan keluarga korban bom di JW Marriot giat menyuarakan aksi damai. Mereka tak kehilangan harapan. Tak putus asa. Namun tetap bertahan hidup dan terus bersemangat menjalani kehidupannya. Sebab hidup itulah yang patut diperjuangkan.
“Maksudnya ingin menunjukkan betapa ngerinya kejadian itu, biar nggak ada lagi aksi (bom bunuh diri) lainnya,” tutur Didik. [SWD]
Sumber: http://radarkediri.jawapos.com/geluti-bisnis-jadi-motivator-dan-tangani-it-desa/4