Belajar Kepasrahan dari Penyintas
Belum lama bergaul dengan para penyintas terorisme, saya mendapatkan banyak pelajaran berharga. Sebagian konsep tasawuf yang dulu saya pelajari di pesantren terasa “melangit”, seolah mendarat mulus di bumi saat menyimak penuturan tulus penyintas terorisme. Soal kepasrahan dan keikhlasan menerima takdir Tuhan, para penyintas telah teruji praktis, tak sekadar berwacana.
Penyintas terorisme berhasil lolos dari ancaman maut saat teror bom menerjang, namun sebagian anggota tubuhnya hilang. Sempat marah dan menolak kenyataan, tapi akhirnya kembali pada kesadaran bahwa mereka sedang dihadapkan pada takdir yang tak terlawan. Keikhlasan menerima takdir dan kepasrahan pada Tuhan sangat berguna menyembuhkan derita psikisnya.
Salah satu penyintas yang saya kenal adalah Iwan Setiawan, korban Bom Kuningan 2004. Ia harus kehilangan salah satu matanya akibat peristiwa tragis itu. Istrinya meninggal dunia dua tahun setelahnya. Iwan Sarjana Komputer. Pendidikannya sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi di jurusan nonkeagamaan. Namun, filosofi hidup “tukang parkir” yang diutarakannya sempat membuat saya terperangah.
Baginya, segala hal yang ia miliki di dunia adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Tapi, tatkala Tuhan memintanya kembali, maka harus bersikap legawa. Sikap itu dimiliki seorang tukang parkir yang dalam beberapa waktu tertentu memiliki banyak kendaraan di area yang dikelolanya. Tetapi, saat pemiliknya meminta, tukang parkir rela menyerahkan titipan itu tanpa beban.
Dalil yang mendasari falsafah hidup Iwan adalah QS. Al-An’am: 162, “Qul inna shalati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi robbal ‘alamin (Katakanlah hai Muhammad, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam). Umat muslim membaca penggalan ayat tersebut dalam shalat, sebagai doa iftitah usai takbir pertama sebelum al-fatihah. Namun, saya sendiri tak pernah betul-betul bisa menghayati doa itu.
Maka tatkala Iwan mengutip ayat itu, saya teringat konsep tawakkal yang saya pelajari dari buku-buku tasawuf. Tawakkal adalah kepasrahan kepada Tuhan dan ikhlas menerima segala ketentuan-Nya atau sumelehkata orang Jawa. Pasrah bukan fatalis, diam berpangku tangan menerima kenyataan hidup. Menurut Zainuddin bin Ali al-Malibary, ulama India, kepasrahan tak menafikan ikhtiar. Orang harus tetap berusaha, namun bertawakkal dengan merelakan apa pun ketentuan yang digariskan Tuhan tanpa membanding-bandingkan dengan yang lain (Syarah Mandhumah Hidayat al-Adzkiya’ Ila Thoriq al-Auliya’: hal. 30).
Maka sebagai ikhtiar atas cedera fisiknya, berbulan-bulan Iwan menjalani perawatan medis hingga kondisinya membaik. Kini ia mampu menjalani hidup layaknya orang normal dan berbisnis di bidang komputer.
Secara psikologis, kepasrahan terbukti sangat bermanfaat membantu kesembuhan segala macam penyakit; psikis maupun fisik. Pengusaha sukses dan pakar fisika Amerika Serikat, Lester Levenson, pernah menderita depresi akut hingga menyebabkannya tergolek tak berdaya di rumah sakit pada 1952. Diagnosis medis menunjukkan adanya komplikasi. Dokter pun angkat tangan dan memersilakan Levenson pulang ke rumahnya untuk menjemput kematian secara damai.
Alih-alih menyerah, ia malah mendatangi laboratorium miliknya padahal kondisinya semakin parah. Saat itulah ia berikrar tulus, “Tuhan, jika aku harus menghadap-Mu sekarang aku siap. Namun, jika Engkau beri kesembuhan aku juga siap. Aku pasrahkan segalanya kepada-Mu.” Selama 3 bulan Levenson mempraktikkan metode ‘pasrah’ ini. Ajaib. Semua penyakitnya sembuh, bahkan ia merasakan kebahagiaan secara terus-menerus hingga hari kematiannya pada 18 Januari 1994, 40 tahun setelah vonis dokter. Berdasarkan pengalamannya itu, Levenson lantas mengembangkan terapi Sedona Method (terapi pelepasan energi negatif dalam diri manusia secara alamiah).
Saya pernah belajar Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) langsung dari pengembangnya, Ahmad Faiz Zainuddin. Salah satu kunci dalam terapi ini adalah keikhlasan dan kepasrahan, selain ketukan di beberapa titik tubuh. Klien/pasien harus ikhlas menerima penyakit atau pun kenyataan buruk yang menimpanya dan lantas memasrahkan kesembuhan dan kebaikannya kepada Tuhan. Saya melihat sendiri manfaat terapi kepasrahan ini dalam banyak kasus.
Menurut Faiz, kepasrahan adalah penawar racun yang ampuh. Mengikhlaskan kenyataan yang telah terjadi, berusaha optimal menggapai hasil terbaik, namun sepenuh hati menyerahkan keberhasilan usahanya kepada Tuhan. Ada doa populer dalam tradisi umat Islam, “Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi la haula wa la quwwata illa billah(dengan menyebut nama Allah saya pasrah kepada Allah, tiada kekuatan selain dari-Nya). Doa tersebut biasanya diucapkan saat hendak berangkat kerja, bukan sepulang kerja. Artinya, setelah berikrar memasrahkan diri pada Tuhan, orang justru disuruh untuk berusaha keras.
Sebagai bagian utuh dari kepasrahan adalah pemaafan. Faiz pernah bercerita, dalam sebuah forum, seorang perempuan mengadu kepadanya. Intinya, perempuan itu telah disakiti oleh mantan suaminya. Setelah sang suami ia belikan mobil, sertifikat rumahjuga diatasnamakan suaminya, ia lantas diceraikan. Kesalahan suaminya terlalu berat dimaafkan. Perasaan dendam itu telah membuatnya mengidap pelbagai penyakit.Maka solusinya, demikian Faiz menasihati perempuan itu, Forgive for your own health, living well is the best revenge (Maafkanlah demi kesehatan dan kedamaian hati Anda sendiri. Cara terbaik membalas dendam adalah kehidupan Anda yang baik-baik saja meski telah disakiti).
Iwan pun melakukan pemaafan tersebut. Ia sama sekali tak menaruh dendam terhadap para pelaku teror yang merenggut salah satu matanya dan menyebabkan kekasih hatinya meninggal. Iwan memaafkan para pelaku dan rekan-rekannya. Menurut Iwan, dengan kepasrahan itu, hidupnya terasa enteng. Tak ada yang diratapi lagi dari peristiwa tragis 12 tahun silam itu.
Selain Iwan, masih banyak penyintas terorisme lain yang memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang inspiratif serta sikap kepasrahan dan kelapangan hati yang layak diteladani. [TS]