Mereka yang Melawan Trauma dan Memberi Maaf
Petugas keamanan berjaga di depan Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta, pascaledakan di hotel tersebut *** Local Caption *** Bom Guncang Jakarta – Petugas keamanan berjaga di depan Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta, pascaledakan di hotel tersebut, Jumat (17/7). Akibat ledakan bom yang menguncang Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton, 8 orang tewas serta 53 orang terluka.
KOMPAS – Sudah 13 tahun berlalu sejak peristiwa bom Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003. Rentang waktu itu cukup untuk menyembuhkan luka fisik bagi ratusan penyintas dari kejadian itu. Namun, penderitaan para korban belum sepenuhnya terobati.
Pada Sabtu (8/6/2016), belasan penyintas dan keluarga korban bom Hotel JW Marriott berkumpul di sebuah restoran di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk mengenang peristiwa yang mengubah hidup mereka.
Dari mereka yang hadir, salah satunya adalah Didik Haryono (41). Kehadiran Didik di acara tersebut menjadi istimewa.
Pasalnya, itu menjadi kali pertama bagi Didik menginjakkan kembali kakinya di Ibu Kota setelah sempat menepi selama sembilan tahun untuk penyembuhan fisik dan psikis di kampung halamannya, yakni Desa Minggiran, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
“Saya nekat untuk naik pesawat. Rasa takut di keramaian masih terasa, tetapi saya mencoba melawan dengan berdoa,” kata Didik di sela-sela acara itu.
Didik mengisahkan, saat bom meledak di Hotel JW Marriott pada 2003, ia baru saja selesai makan siang di sekitar tempat kerjanya di Gedung Menara Rajawali, Kuningan, Jaksel.
Kala itu, ia masih bekerja di bagian personalia sebuah perusahaan jasa keamanan. Ledakan bom tersebut menyebabkan kobaran api membakar tubuhnya.
Dari sekitar 150 korban luka-luka bom JW Marriott, Didik masuk korban luka terparah. Luka bakar di tubuhnya mencapai 70 persen dengan kedalaman luka bakar 2-3 cm. Ia juga mengalami patah tulang di sejumlah bagian tubuh, mulai dari bahu hingga kaki.
Selama satu tahun Didik menjalani serangkaian penyembuhan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
Ia melakukan 20 kali operasi, termasuk bedah plastik dan pemasangan pen untuk tulangnya yang patah. Seluruh biaya pengobatan itu ditanggung Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Seusai melakukan sejumlah operasi dan rawat inap di RSPP, pada pertengahan 2004-2007 Didik masih melakukan pengobatan jalan untuk penyembuhan luka-lukanya. Ketika itu, Yayasan Nurani Dunia jadi penanggung biaya pengobatannya.
Pasca 2007 menjadi momen krusial bagi Didik karena ia berusaha menyembuhkan luka psikis dan mengembalikan fungsi motorik anggota tubuhnya, terutama tangan dan kaki yang sudah empat tahun tidak berfungsi normal.
Terkait hal itu, Didik memilih kembali ke kampung halaman dan berkumpul dengan sanak keluarganya.
Pada September 2015, Didik perlahan bisa kembali beraktivitas normal. Ini ditandai dengan kemampuannya untuk bekerja sebagai pegawai administrasi di Kantor Desa Minggiran.
Namun, bekerja sebagai pegawai kontrak di desa belum sepenuhnya melegakan Didik.
“Sembilan tahun saya berjuang menyembuhkan diri dan mental sehingga saya tidak sempat memikirkan untuk cari pendamping hidup. Semoga saya masih dipertemukan jodoh, he-he-he,” kata dia.
Berjuang sendiri
Jika Didik harus melawan penderitaan fisik dan psikis, Nurbaiti (53) harus ditinggal sang suami, yakni Edi Haryanto, yang menjadi salah satu dari 12 korban tewas dari peristiwa bom JW Marriott.
Setelah ditinggal Edi, Nurbaiti harus bekerja serabutan di sejumlah tempat, mulai dari menjadi pembantu rumah tangga di rumah tetangganya hingga menjadi tenaga memasak di usaha jasa boga milik teman.
“Sebelumnya saya tidak bekerja, tetapi setelah suami meninggal, saya harus mencari nafkah untuk membiayai kuliah dua putri saya,” kata Nurbaiti.
Meski tidak menjadi korban langsung peristiwa bom tersebut, Nurbaiti tetap mengalami trauma. Ia sempat menolak keluar rumah selama empat bulan setelah kejadian itu sebab khawatir adanya aksi bom susulan.
Memaafkan
Nurbaiti dan Didik memang sempat marah dan mempertanyakan motif para teroris melakukan pengeboman. Rasa marah dan kesal sempat mengisi hati mereka.
“Allah Maha Pemaaf, jadi tidak ada alasan saya untuk tidak memaafkan mereka (para pelaku bom). Meski saya sempat tidak siap ditinggal suami, sekarang saya sudah ikhlas,” tutur Nurbaiti.
Didik pun sejak Juli 2016 sudah mengikuti pelatihan yang diadakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuan kegiatan itu ialah menyiapkan para korban bom untuk berdialog dengan terpidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan.
Syafiq Syeirozi, project officer AIDA, menegaskan, suara korban teror memiliki kekuatan untuk meruntuhkan kekerasan hati para terpidana terorisme. Karena itu, pertemuan para korban dan terpidana terorisme menjadi penting dalam upaya deradikalisasi.
Ketua Umum Yayasan Penyintas Indonesia Sucipto Hari Wibowo mengatakan, pertemuan para korban dan keluarga korban merupakan wadah terbaik untuk berbagi pengalaman, sehingga para penyintas bisa saling menyemangati untuk bangkit dan melanjutkan hidup pasca peristiwa teror bom. [TS]
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/08/mereka.yang.melawan.trauma.dan.memberi.maaf
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 11 Agustus 2016, di halaman 5 dengan judul “Mereka yang Melawan Trauma dan Memberi Maaf”.