Home Tajuk Hak Korban dalam UU Antiterorisme
Tajuk - 13/08/2016

Hak Korban dalam UU Antiterorisme

Melihat draf revisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, didapatkan fakta bahwa hak-hak korban tidak menjadi bagian yang diperhatikan. Padahal, UU yang ada saat ini masih sangat lemah memuat aturan tentang hak-hak korban terorisme.

Revisi UU Antiterorisme cenderung menitikberatkan aspek penindakan dengan memperkuat kewenangan aparat dalam menjalankan operasi penumpasan aksi teror. Bahasan tentang perlindungan dan hak korban diabaikan tak diperbaiki. Dikhawatirkan, mata rantai kekecewaan korban terhadap negara yang tak memenuhi hak-haknya bertambah panjang.

Sebagai misal adalah persoalan kompensasi. Pasal 36 Ayat 1 UU No. 15/2003 menyebutkan “Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi”. Ayat berikutnya menjelaskan bahwa pembiayaan kompensasi kepada korban terorisme dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Permasalahannya, pada Ayat 4 di Pasal itu disebutkan syarat pemberian kompensasi harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, dalam hal ini pengadilan terdakwa aksi teror.

Sederhananya, korban Bom Bali 2002, misalnya, berhak mendapat kompensasi dari pemerintah bila vonis pengadilan para terdakwa kasus tersebut mengamantkan hal serupa. Tak beda halnya dengan korban Bom JW Marriott, korban Bom Kuningan, korban Bom Thamrin, dan korban teror lainnya.

Untuk itu, AIDA mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemangku kebijakan agar memasukkan perbaikan aturan pemberian hak-hak korban dalam revisi UU Antiterorisme. Setidaknya ada tiga hal pokok yang perlu disempurnakan dalam UU tersebut.

Pertama, penjelasan yang cukup tentang pengertian korban. Kata korban dalam UU Antiterorisme tidak boleh menimbulkan multitafsir di mana yang dimaksud dengan korban adalah orang yang menderita atau terdampak akibat aksi terorisme.

Kedua, perubahan mekanisme pemberian kompensasi kepada korban. AIDA mengusulkan mekanisme pemberian kompensasi dari negara kepada korban dilakukan melalui assessment yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang, bukan berdasarkan amar putusan pengadilan.

Dengan demikian, negara dapat menegakkan keadilan dengan memenuhi hak-hak para korban terorisme tanpa batas ruang dan waktu. Apabila tetap berpegang pada aturan pemberian kompensasi berdasarkan putusan pengadilan, maka sudah tertutup pintu kesempatan para korban di masa lalu mendapatkan haknya. Sebab, vonis pengadilan para terdakwa aksi teror Bom Bali 2002 dan 2005, Bom JW Marriott 2003 dan 2009, Bom Kuningan 2004 telah berlalu dan tidak mencantumkan pemberian kompensasi kepada korban.

Ketiga, jaminan pembiayaan medis korban terorisme pada masa kritis. Para korban teror di masa lalu merasakan lambatnya penanganan medis akibat lambatnya pengumuman jaminan pembiayaan pengobatan dari pemerintah. Dengan kata lain, rumah sakit tidak menangani korban sebelum ada jaminan dari pihak keluarga atau dari pemerintah.

Sudarsono Hadisiswoyo, korban Bom Kuningan 2004, menyampaikan kepada para wakil rakyat dalam Rapat Pansus RUU Antiterorisme di DPR pada akhir Mei lalu, bahwa dirinya menunggu hingga 10 jam pascakejadian untuk mendapatkan layanan medis dari rumah sakit. Selama menunggu bejam-jam itu dia hanya dibiarkan terbaring di bangsal rumah sakit bersama para korban lainnya.

AIDA mendorong revisi UU Antiterorisme memuat aturan jaminan negara atas biaya pengobatan korban terorisme terutama pada masa kritis. Dengan demikian, bila terulang kembali aksi terorisme di masa depan, semoga tidak sampai terjadi, penanganan medis kepada korban dapat dilakukan dengan cepat lantaran pihak rumah sakit menyadari bahwa pembiayaannya menjadi tanggungan pemerintah sesuai yang diamanatkan oleh UU ini. [TS]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *