Home Berita Pesan Penyintas kepada Korban Bom Samarinda
Berita - 23/11/2016

Pesan Penyintas kepada Korban Bom Samarinda

Perempuan berambut terurai itu mulai menangis saat menjawab pertanyaan wartawan. Pertanyaan yang mengharuskannya untuk mengingat kembali kejadian yang membuatnya terluka hingga membekaskan trauma pada percikan api, bahkan yang kecil sekalipun seperti percikan korek api.

Namanya Dwi Siti Romdhoni. Saat kejadian, dia sedang duduk santai bersama teman-temannya menikmati kopi di sebuah kedai di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Kamis, 14 Januari 2016. Saat sedang bercengkerama, tiba-tiba terdengar dentuman yang memekakkan telinga. Ledakan itu menghasilkan kepulan asap panas disertai gelombang kuat yang menghantamnya hingga membuatnya terpental.

Wiki, sapaan akrabnya, menceritakan kisahnya itu di hadapan sejumlah wartawan yang mengerumuninya usai acara Konferensi Pers Solidaritas Bom Samarinda dari Keluarga Korban Terorisme di Hotel Sofyan Betawi Menteng, Jakarta, Kamis (17/11/2016). Acara tersebut diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) sebagai aksi solidaritas kepada para korban aksi teror di Gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.

Sesaat setelah terkena ledakan bom di Thamrin, Wiki ditolong oleh masyarakat dan dilarikan ke Rumah Sakit YPK Mandiri, Menteng. Setelah pemeriksaan, ia dinyatakan hanya menderita lebam atau memar di tubuhnya dan tidak perlu menjalani rawat inap. Biaya pengobatan Wiki di RS YPK Mandiri ditanggung seluruhnya oleh pemerintah.

Beberapa hari setelah itu Wiki sering mual dan muntah, serta merasakan sakit yang luar biasa di kepala dan tengkuk. Atas bantuan seorang teman, ia dibawa ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Hasil dari diagnosa dokter menyebutkan bahwa tulang belakangnya mengalami pergeseran atau gangguan akibat benturan saat terkena ledakan bom di Thamrin.

Mendengar kabar itu wajah pualam Wiki semakin pucat. Di rumah sakit itu tulang belakang bagian lehernya dipasangi gip. Ia sempat menjalani rawat inap selama beberapa hari. Setelah kondisinya mulai membaik, ia diizinkan pulang.

Sepulang dari rumah sakit Wiki merasakan trauma yang mendalam. Dia mengaku tidurnya sering tidak nyenyak. Ruangan gelap membuatnya bingung ketakutan. “Saya merasa seolah ada kepulan asap hitam yang menyeliputi saya saat kejadian bom waktu itu,” ujarnya kepada wartawan. Nafasnya tersengal tak beraturan, suaranya tercekat, tangisnya memecah saat menceritakan ini. “Percikan korek api juga masih membuat saya takut, masih trauma,” lanjutnya.

Setelah menjalani rawat jalan kondisinya sedikit membaik meski beberapa kali masih muntah. Wiki kembali ke RS Medika Permata Hijau untuk melakukan perawatan lanjutan atau dalam dunia medis masyarakat mengenalnya dengan istilah kontrol. Akan tetapi, Wiki mengurungkan niatnya untuk melakukan kontrol lantaran pihak RS mengingatkan di awal bahwa biaya untuk kontrol tidak lagi ditanggung oleh pemerintah.

Dalam kondisi itu Wiki menghubungi YPI, perkumpulan para penyintas terorisme di Indonesia, untuk meminta bantuan. Ia disarankan untuk berobat ke RS Polri, dan dia pun setuju. YPI berkoordinasi dengan AIDA untuk mendampingi Wiki mendapatkan pengobatan di RS Polri. Keesokan harinya Tim AIDA dan YPI membawa Wiki menjalani pemeriksaan di tiga poli, yakni Poli Ortopedi (Tulang), Poli Saraf dan Poli Kejiwaan di RS Polri.

Pemeriksaan di tiga poli tersebut menyatakan Wiki hanya perlu mengkonsumsi obat dan menjalani rawat jalan. Setelah pemeriksaan, pihak pimpinan RS Polri menemui Wiki untuk memberikan dukungan moral dan meyakinkannya bahwa seluruh biaya pengobatan ditanggung pemerintah.

“Saya masih trauma lewat jalan Thamrin. Lebih baik memutar jauh daripada lewat jalan itu,” katanya mengungkapkan rasa trauma yang masih dirasakannya.

Pengalaman Wiki menjadi penyintas terorisme menarik perhatian para wartawan yang meliput acara Konferensi Pers Solidaritas Bom Samarinda siang itu. Saat ditanya tentang pesannya kepada para korban teror di Samarinda, ia sempat menghirup napas panjang. Ia mengaku sempat terpukul saat mendengar kabar ada kejadian teror lagi di Indonesia. Sebagai sesama korban aksi teror, ia meminta para korban Bom Samarinda dan keluarganya segera mengikhlaskan kejadian itu dan tetap optimistis menjalani kehidupan.

“Ikhlas dengan masa lalu adalah permulaan yang baik dalam berdamai dengan diri sendiri. Menyimpan dendam dan amarah hanya menghasilkan kesengsaraan dalam hidup,” tuturnya memungkasi. (AM) [SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *