Kisah Perdamaian untuk Indonesia Damai
Di saat ketegangan dan hujatan yang sarat permusuhan (akibat Pilkada) memenuhi hampir seluruh ruang kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini, ada pemandangan yang sejatinya menjadi inspirasi bagi semua pihak, khususnya dalam konteks membangun dan menjaga kedamaian di Republik ini.
Tepat di depan Monumen Ground Zero di Legian Bali, sejumlah muda-mudi mementaskan talentanya secara bergantian, mulai dari tari tradisional, bernyanyi hingga tari modern. Mereka adalah anak-anak korban Bom Bali tahun 2002 yang pada saat kejadian masih berumur belia. Sore itu (12/10), bersama keluarga korban bom Bali yang tergabung dalam Yayasan Isana Dewata mereka memeriahkan acara peringatan tragedi ini dengan menampilkan talenta masing-masing yang sarat dengan pesan-pesan ketangguhan, kebangkitan dan perdamaian.
14 tahun silam, mereka tak dapat membayangkan akan menjalani hidup seperti apa setelah ditinggal oleh bapak atau ibunya lantaran menjadi korban ledakan bom yang menewaskan 202 orang itu. Selama 14 tahun keluarga korban Bom Bali berjuang sangat keras untuk membesarkan anakanaknya agar tumbuh dengan membawa semangat kebangkitan dan ketangguhan yang jauh dari hasrat balas dendam. Kini mereka telah beranjak dewasa. Mereka bahkan kerap terlibat aktif dalam persiapan maupun pelaksanaan acara peringatan tragedi ini. Muda-mudi itu dan keluarga besar korban Bom Bali tampak akrab dan kompak, walaupun mempunyai latar belakang agama, suku dan budaya yang berbeda-beda. Bersama Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, dan segenap unsur lain yang hadir dalam acara peringatan tersebut, keluarga korban Bom Bali menyerukan kepada semua pihak agar menjaga perdamaian dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Walaupun sarat dengan pesan-pesan positif dan inspiratif, kisah perdamaian seperti dalam acara peringatan Bom Bali ke-14 kemarin tidak banyak mendapatkan tempat di ruang-ruang media, baik media professional maupun sosial media. Justru yang acap memenuhi ruang-ruang media adalah “kisah” saling hujat antara pendukung satu calon dalam Pilkada dengan pendukung yang lain. Begitu juga dengan “kisah” ketegangan hubungan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain lantaran perbedaan latar belakang yang bersifat keagamaan. Bahkan “kisah” pertarungan hukum antara dua perempuan muda yang sebelumnya terjalin hubungan sahabat karib (sebelum salah satunya meninggal) mendapatkan porsi pemberitaan yang acap tak terbatas.
Jangan berharap mendapatkan air jernih bila tak pernah mengisi gentong (bak air) dengan air yang jernih. Jangan berharap bisa panen bila tidak bercocok tanam. Jangan berharap bisa sampai ke tujuan bila tidak melalui jalannya. Demikian kurang lebih nasehat-nasehat kuno yang selalu disampaikan oleh orang-orang tua dahulu di kampong terkait dengan pentingnya usaha untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan.
Singkat kata, janganlah berharap adanya kedamaian dan ketenangan bila gentong-gentong publik tidak diisi dengan hal-hal yang bersifat perdamaian dan menenangkan. Terlebih lagi yang terjadi sebaliknya; ruang-ruang publik nyaris penuh sesak dengan hal-hal yang bersifat konfliktual seperti di atas. Di sinilah urgensi memenuhi ruang publik dengan kisah-kisah perdamaian yang bersifat inspiratif.
Visi perdamaian
Realitas kehidupan tentu tak selalu harmoni dan positif. Justru kehidupan bergerak seiring kontentasi yang terjadi antara kebaikan dengan keburukan. Namun mengisahkan kebaikan demi terciptanya sebuah kebaikan adalah pilihan yang bisa dilakukan. Sebagaimana mengisahkan perdamaian demi terciptanya kedamaian adalah pilihan yang bisa dilakukan oleh sebuah pihak.
Di sinilah pentingnya menjadikan perdamaian sebagai sebuah visi atau pilihan dengan segala kesadaran, baik dalam konteks kehidupan beragama maupun dalam kehidupan berbangsa. Mengapa perdamaian penting dijadikan visi atau pilihan? Tak lain karena selalu ada kekerasan di sebelah perdamaian.
Dalam konteks kehidupan beragama, contohnya, selalu ditemukan adanya ajaran-ajaran yang terkait dengan perdamaian. Sebagaimana juga ditemukan adanya ajaran-ajaran yang bisa dipahami membolehkan kekerasan, termasuk dalam konteks relasi dengan “yang lain”.
Terlalu picik bila menafikan salah satu dari perdamaian maupun yang bercorak kekerasan. Hal yang termungkin dilakukan adalah meneguhkan salah satunya sebagai sebuah visi atau pilihan; perdamaian atau kekerasan.
Kekerasan tak bisa dijadikan sebagai sebuah pilihan maupun visi dalam keberagamaan. Karena bila hanya untuk berlaku keras dan sadis, manusia hakikatnya tidak membutuhkan agama. Faktanya hewan-hewan buas bisa bersikap sangat sadis walaupun tidak beragama.
Dengan demikian, perdamaianlah yang bisa diteguhkan sebagai pilihan ataupun visi dalam keberagamaan. Karena dengan ajaran-ajaran yang ada, agama bisa menuntun manusia untuk lebih mengedepankan perdamaian dibanding kekerasan. Allah memberikan banyak keistimewaan kepada perdamaian yang tak diberikan kepada kekerasan, demikian bunyi salah satu Hadis Nabi Muhammad SAW.
Hal kurang lebih sama terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selalu terbuka kemungkinan untuk merespons segala yang terjadi dari perspektif perdamian dengan semangat persatuan atau kekerasan dengan semangat perpecahan, tak terkecuali dalam hubungan antara kelompok-kelompok yang ada. Kekerasan dengan semangat perpecahan tak mungkin dijadikan sebagai pilihan ataupun visi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kalau hanya untuk berceraiberai tidak dibutuhkan adanya ikatan kebangsaan yang merajut pelbagai macam kelompok masyarakat yang bersifat majemuk.
Oleh karena itu, perdamaian dengan semangat persatuanlah yang bisa dijadikan sebagai sebuah pilihan ataupun visi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Visi ini menegaskan adanya kesadaran akan kemajemukan dan perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Namun kemajemukan dan perbedaan yang ada bukan untuk menciptakan konflik, kekerasan dan perpecahan, melainkan untuk mengukuhkan perdamaian, persatuan dan kebersamaan dengan sikap saling menghormati.
Kisah perdamaian
Dalam konteks seperti di atas, kisah perdamaian tidak kalah penting dari perdamaian itu sendiri. Kisah perdamaian akan berkontribusi bagi terciptanya kehidupan yang damai pula. Semakin banyak kisah perdamaian disampaikan semakin besar pula harapan akan terciptanya kehidupan yang lebih damai. Pun demikian sebaliknya.
Di sinilah pentingnya belajar tentang perdamaian dari kisah keluarga korban bom terorisme. Seruan perdamaian tak hanya disampaikan oleh keluarga korban di panggung-panggung formal yang bersifat seremonial. Lebih daripada itu semua, sebagian dari mereka bahkan sampai pada tahap saling memaafkan dan berekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme. Pada tahap selanjutnya, korban dan mantan pelaku terorisme yang sudah mengalami proses rekonsiliasi turun langsung melakukan kampanye perdamaian di tengah-tengah masyarakat.
Dari kisah mantan pelaku terorisme, masyarakat dapat mengambil pembelajaran bahwa aksi kekerasan seperti terorisme nyata adanya, bukan rekayasa. Juga dari kisah mantan teroris, masyarakat dapat mengambil pembelajaran bahwa ketidakadilan tidak bisa dihadapi dengan ketidakadilan. Hal ini penting ditekankan mengingat salah satu motivasi seseorang bergabung dengan jaringan terorisme (seperti diakui oleh sebagian mantan teroris) adalah kehendak untuk melawan sebuah ketidakadilan sosial dan politik, baik ketidakadilan yang terjadi di dalam negeri (seperti dahulu di Ambon) ataupun di luar negeri (seperti di Palestina dan Irak). Semangat perlawanan inilah (salah satunya) yang mendorong mereka untuk melakukan aksi pengeboman di tempat-tempat yang diyakini ada hubungan dengan pelaku-pelaku ketidakadilan di wilayah-wilayah tersebut.
Sementara dari kisah korban terorisme, masyarakat dapat mengambil pembelajaran bahwa aksi kekerasan tak dapat dibalas dengan kekerasan serupa. Walaupun para korban mempunyai hak hukum untuk menuntut balas atas kekerasan yang dialami, tapi sebagian dari mereka justru memilih untuk memaafkan dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Ini adalah energy perdamaian yang bisa melumpuhkan kekerasan. Sebab bila kekerasan dibalas dengan kekerasan maka yang akan terjadi adalah reproduksi kekerasan dengan pelaku-pelaku dan korban-korban yang baru pula.
Sangat ironis, di saat sebagian korban dan mantan pelaku terorisme ber juang keras untuk terus mengalirkan kisah-kisah perdamaian, sebagian pihak lain justru terus memenuhi ruang publik dengan provokasi dan agitasi, khususnya pada masa-masa Pilkada seperti sekarang. Bahkan provokasi dan agitasi yang ada acap dilakukan oleh para elite dan kaum terpelajar demi tujuan pragmatis, memenangkan pertarungan politik di pentas Pilkada.
Padahal selalu ada pilihan damai dalam menyikapi perkembangan apa pun, termasuk perkembangan di pentas perpolitikan. Marilah kita berpegang teguh selalu pada pilihan perdamaian daripada kekerasan. Marilah kita penuhi ruang-ruang publik dengan kisahkisah perdamaian daripada kisah kekerasan. Marilah berpolitik dengan menebarkan semangat perdamaian daripada semangat kekerasan dan permusuhan. Demi Indonesia yang lebih damai.
*Artikel ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, Edisi 24 Oktober 2016.