Home Berita Guru Ujung Tombak Perdamaian di Sekolah
Berita - 28/12/2016

Guru Ujung Tombak Perdamaian di Sekolah

Pendidikan karakter merupakan modal utama dalam pembentukan generasi emas bangsa Indonesia. Peran guru dalam mendidik dan membimbing siswa agar memiliki keunggulan sangat diharapkan. Dunia pendidikan nasional belum aman dari momok praktik-praktik kekerasan di lingkungan sekolah. Guru sebagai elemen penting jalannya roda pendidikan dituntut memiliki semangat perdamaian guna menangkal aksi kekerasan.

Itulah yang mendasari Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Cirebon, 27-28 Februari 2016. Dalam kegiatan ini, 19 orang guru dari lima sekolah di Kabupaten Cirebon mendapatkan pelatihan tentang apa dan bagaimana menumbuhkan budaya cinta damai di sekolah, terutama kepada anak didik mereka. Kegiatan didesain dengan pendekatan partisipatoris.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menyambut baik program AIDA tersebut. Direktur Pembinaan SMA Kemdikbud, Purwadi Sutanto, menyebut inisiatif AIDA sebagai gerakan positif upaya pembentukan karakter bangsa. Dalam sambutannya pada pembukaan ToT, yang diwakili Kepala Seksi Bakat dan Prestasi, Asep Sukmayadi, pihaknya menilai gerakan seperti ini sangat penting untuk menyongsong generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka. Menurutnya, guru adalah ujung tombak perdamaian di sekolah.

Dalam ToT, semua pihak bersinergi mendorong guru agar mampu mendidik siswa tentang nilai perdamaian sekaligus menghindarkan mereka dari ajaran prokekerasan. Para peserta pun aktif berpartisipasi pada setiap sesi ToT.  Mereka terlihat antusias menerima materi belajar perdamaian dari pengalaman korban dan mantan pelaku kekerasan.

Dwi Welasih, korban kekerasan aksi terror bom di Hotel JW Marriott Jakarta 5 Agustus 2003, berkisah kepada peserta ToT tentang semangatnya bangkit dari penderitaan akibat peristiwa itu. Dari aksi bom itu dia mengalami luka bakar serius di tangan dan kaki. Lama menjalani perawatan, Dwi sempat mengalami trauma terhadap panas, api, asap, bau mesiu serta takut keluar rumah apalagi pergi ketempat keramaian. Seiring waktu, kondisinya pulih dan dia bersilaturahmi dengan sesame korban teror di Indonesia. Para  sahabat mendorongnya untuk bangkit dan pantang menyerah dari aksi terorisme. “Sekarang kami, para korban bom, bersatu membentuk Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) untuk mengampanyekan perdamaian bersama mantan pelaku dan AIDA,” ujarnya.

Kisah Dwi menyentuh perasaan guru-guru peserta ToT. Sebagian mereka terharu hingga menitikkan air mata menyimak pengalaman hidup Dwi. Seorang peserta mengaku kagum dengan kebesaran hati Dwi yang mampu memaafkan mantan pelaku kekerasan dan kini melangkah bersama untuk mengampanyekan perdamaian.

Sementara itu, mantan pelaku kekerasan, Iswanto, dalam ToT menceritakan sepak terjang hidupnya dari awal bergabung dengan kelompok ekstremis hingga tersadar dan menjadi duta perdamaian. Dia menyebut keputusannya terlibat dalam kelompok itu sebagai tindakan yang keliru. Titik balik yang menyadarkannya untuk meninggalkan jalan kekerasan adalah factor pendidikan.

“Keluar dari jaringan itu, saya melanjutkan studi yang sempat terbengkalai. S-1 saya lewati dan saya melanjutkan ke S-2. Berbaur dengan banyak teman di kampus membuat saya berpikiran terbuka dan berwawasan luas. Sekarang saya berjualan sandal bersama istri. Sandal itu empuk. Dulu saya berdekatan dengan benda-benda dan pemikiran yang mengajak ke jalan kekerasan, tapi sekarang tidak lagi,” kisahnya.

Selain dari korban dan mantan pelaku kekerasan, peserta ToT mendapatkan materi dari narasumber lain. Di antaranya adalah materi bertajuk memahami doktrin yang dipahami prokekerasan yang disampaikan oleh cendekiawan muslim sekaligus anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanul Haq. Para guru juga menjadi terbuka wawasannya ketika menerima materi tentang peta radikalisme di kalangan pelajar di wilayah Cirebon, yang disampaikan oleh peneliti IAIN Syeh Nurjati, Marzuki Wahid.

Pada sesi malam, peserta ToT bergerak aktif dalam diskusi kelompok tentang analisis sebab kekerasan dan radikalisme di sekolah, serta cara pencegahannya. Para guru menyadari mereka memainkan peran penting dalam upaya melindungi pelajar dari pengaruh paham pro kekerasan. Mereka pun berkomitmen untuk semakin kuat menanamkan budaya cinta damai di lingkungan sekolah baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler.

“Setelah mengikuti pelatihan, saya akan mencoba membuat suatu cara yang kreatif untuk menyampaikan nilai perdamaian serta bahaya aksi kekerasan kepada siswa dalam berbagai pembinaan kesiswaan,” ujar peserta dari SMAN 1 Sumber. Hal senada muncul dari gagasan guru MAN Ciwaringin. “Dibutuhkan sumbangsih guru untuk membangun perdamaian. Kita bisa bersama-sama mewujudkan Indonesia damai,” ucapnya.

ToT “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” adalah kegiatan yang tak terlepas dari program kampanye perdamaian AIDA di sekolah-sekolah. Sebelum penyelenggaraan ToT untuk guru, AIDA telah melaksanakan safari kampanye perdamaian dalam bentuk kegiatan dialog interaktif dengan siswa di lima sekolah di Kabupaten Cirebon. (AS) [SWD]

 

 

Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA edisi VIII, April 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *