Home Berita Belajar Ikhlas dari Penyintas
Berita - 09/01/2017

Belajar Ikhlas dari Penyintas

Deburan ombak Pantai Losari dan keramahan para daeng menyambut kedatangan Tim Perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di negeri angin mamiri, Makassar, Sulawesi Selatan. Di bumi pelaut pencipta perahu phinisi itu Tim Perdamaian bersilaturahmi dengan para tokoh agama guna membangun Indonesia yang lebih damai. Silaturahmi antara Tim Perdamaian dan para dai di Makassar tersaji dalam kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama pada 30 s.d. 31 Agustus 2016.

Dalam kegiatan itu, anggota Tim Perdamaian, Iwan Setiawan berbagi pengalaman hidup sebagai korban ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta, 9 September 2004. Di hadapan para peserta, ia berusaha tegar menuturkan kisahnya sambil beberapa kali mengusap air mata.

Pada saat kejadian, Iwan sedang mengendarai motor memboncengkan istrinya, Chalyla Seroja Daulay, untuk periksa kandungan anak kedua mereka ke rumah sakit. Akibat ledakan besar Iwan dan istri terjatuh dari motor. Dalam kondisi tubuh terguncang dan berdarah-darah, Iwan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan menyalakan motornya kembali.

“Berkali-kali saya coba menstarter tapi motor tidak bisa menyala. Lalu saya coba menstarter lagi dengan sekali takbir Allahu Akbar, motor langsung menyala,” ujarnya.

Akibat teror Bom Kuningan 2004, Iwan kehilangan indra penglihatan sebelah kanan. Dua tahun pascateror, sang istri, Chalyla, meninggal dunia karena luka di tulang belakang akibat ledakan bom yang sama. Meski cobaan demi cobaan datang mendera, Iwan tegar dan ikhlas menjalani kehidupan.

“Setiap salat kita membaca ayat inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam). Semua yang ada pada diri kita itu milik Allah, jadi saya ikhlaskan semua yang telah diambil oleh-Nya,” kata dia sambil menahan isak tangis.

Para tokoh agama peserta pelatihan terpana menyimak penuturan kisah Iwan. Di tengah situasi ketakberdayaan, keimanan Iwan tak goyah bahkan justru menguat. Bagi para peserta, ketangguhan Iwan dalam menghadapi musibah sangat menginspirasi. Kisahnya mengilhami mereka untuk terus menyampaikan nasihat perdamaian serta pencegahan aksi kekerasan dan terorisme kepada masyarakat.

Selain Iwan, dalam pelatihan itu Sucipto Hari Wibowo (korban Bom Kuningan 2004) juga berbagi kisah. Saat bom meledak, Sucipto terlempar sejauh empat meter. Ia bersyukur tidak tertabrak bus kota yang sedang melintas. Seketika asap putih membubung dan menghalangi pandangan. Yang tampak di penglihatan Sucipto saat itu hanyalah kerusakan di mana-mana.

“Di tengah kepanikan orang-orang, hanya satu yang saya pikirkan, yaitu harus bangkit dan menyelesaikan tugas mengantarkan dokumen kantor tempat saya bekerja. Saya berusaha profesional, saya tidak mau dipecat, saya harus menghidupi keluarga saya, saya harus antarkan dokumen itu,” ujarnya.

Ia mengabaikan luka dan sakit di sekujur tubuhnya demi sebuah profesionalisme. Beberapa hari pascakejadian, dia baru dibawa ke rumah sakit setelah merasa kesakitan di bagian kepala. Setelah melalui pemeriksaan CT scan, diketahui beberapa jaringan saraf Sucipto mengalami kerusakan serta indra pendengarannya terganggu akibat ledakan. Butuh waktu sebulan perawatan sebelum kondisinya membaik.

Korban Bom JW Marriott 2003, Vivi Normasari, juga hadir dan berbagi kisah dalam pelatihan di Makassar. Seorang mantan pelaku aksi kekerasan, Ali Fauzi, turut membagi pengalamannya kepada para peserta. Para korban dan mantan pelaku telah berekonsiliasi dan kini bersatu mengampanyekan perdamaian.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam pelatihan menyampaikan harapan agar kisah korban dan mantan pelaku menjadi inspirasi dan pembelajaran bagi tokoh agama. “Dari kisah korban, kita tahu dampak destruktif aksi teror dan kita diajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan,” ujarnya.

Sementara itu, lanjutnya, pengalaman mantan pelaku menunjukkan betapa bahayanya paham ekstremisme dan terorisme, serta mengajarkan agar tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan.

Selain bersilaturahmi dengan korban, dalam pelatihan para peserta mendapatkan materi Meng-counterDoktrin-doktrin Ekstremisme dari KH. Helmi Ali Yafie, serta Memahami Ideologi dan Jaringan Terorisme dari pakar terorisme Universitas Indonesia, Solahudin.

Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama diikuti oleh 28 orang dai dari organisasi Darul Dakwah wal Irsyad (DDI). Peserta berasal dari kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Barru dan kota-kota lain di Sulawesi Selatan. Para peserta mengaku antusias mengikuti kegiatan tersebut.

“Korban begitu hebat memaknai dan mengamalkan dalil-dalil agama. Ini luar biasa. Kami berkomitmen untuk mengajak masyarakat menjauhi paham-paham yang sifatnya ekstrem, menjauhi aksi-aksi kekerasan apalagi sampai melakukan teror. Kita harus bersama-sama mengarahkan masyarakat menuju perdamaian,” kata salah satu peserta. (MLM)[SWD]

 

Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *