Home Berita Guru Menjadi Duta Perdamaian
Berita - 07/02/2017

Guru Menjadi Duta Perdamaian

Riuh tepuk tangan menggema saat dua orang yang duduk di kursi pemateri berjabat tangan erat. Sebelumnya, keduanya mengisahkan pengalaman hidup masing-masing. Ali Fauzi berkisah seputar keterlibatan hingga proses keluarnya dari jaringan kelompok kekerasan. Sementara Tita Apriyantini bertutur tentang pengalaman pahitnya menjadi korban bom di Hotel JW Marriott Jakarta tahun 2003.

Pemandangan itu muncul dalam kegiatan Training of Trainer (ToT) “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” yang digelar Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bukittinggi, Sumatera Barat, pertengahan April lalu. Di hadapan dua puluh guru delegasi dari SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, dan SMAN 5, Tita bertutur tentang pengalaman pilu 13 tahun silam saat menjadi korban teror bom. “Sebagian kulit saya terbakar sehingga harus menjalani beberapa kali operasi penyembuhan,” katanya. Kendati sempat terpuruk akibat peristiwa itu, Tita mampu bangkit untuk beraktivitas seperti sedia kala. Walau sempat marah terhadap para teroris, kini Tita mampu memaafkan mantan pelaku dan mengikhlaskan masa lalunya.

Para pelaku teror yang melukai Tita tak lain adalah rekan sejaringan dengan Ali Fauzi dahulu. Karena itu, dalam kesempatan tersebut Ali memohon maaf kepada para korban bom, disimbolkan bersalaman dengan Tita. Ali mengakui salah satu faktor yang mendorong dirinya keluar dari jalan kekerasan adalah perkenalannya dengan para korban terorisme. Kini Ali bersama dengan Tita tergabung dalam Tim Perdamaian.

Selain dari korban dan mantan pelaku terorisme, dalam pelatihan selama dua hari itu, peserta juga mendapatkan materi dari sejumlah narasumber dan pakar. Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi,  dalam sambutannya mengatakan pelatihan ini bertujuan membangun sinergi dengan para guru dalam rangka melindungi pelajar dari pengaruh negatif, terutama radikalisme-ekstremisme.

Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Purwadi Sutanto, menyambut baik upaya AIDA mendorong para guru di Bukittinggi menjadi duta perdamaian. Dalam sambutannya yang diwakili Kasi Pengembangan Bakat dan Prestasi, Asep Sukmayadi, disebutkan radikalisme-ekstremisme telah menjadi ancaman nyata terhadap generasi muda Indonesia.

Seorang peserta dari SMAN 1 yang juga Pembina organisasi ekstrakurikuler keagamaan di sekolahnya menyatakan, selama ini pihaknya cukup ketat mengawasi kegiatan para siswa di sekolahnya, salah satunya dengan menyeleksi mentor yang akan membimbing anak didiknya.

Pemateri lain, peneliti Pusat Kajian Teroris medan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, mengungkapkan radikalisme di kalangan pelajar adalah fakta yang harus diantisipasi sedini mungkin. Ia membeberkan sejumlah kasus pidana terorisme yang melibatkan siswa SMA, di antaranya kelompok ightiyalat yang ditangkap polisi pada tahun 2011. Kelompok yang melibatkan sejumlah siswa SMK itu berupaya mengebom beberapa tempat di Klaten dan Solo, kendati gagal. Pada tahun 2012, sejumlah remaja ditangkap karena berpartisipasi dalam pelatihan perakitan bom, dan sebagian lainnya terlibat dalam penembakan polisi.

Menurut dia, Bukittinggi bukan daerah yang betul-betul steril dari ancaman radikalisme.Tahun 2015, dua orang warga Bukittinggi yang berprofesi sebagai pedagang ditangkap oleh polisi karena terlibat kelompok Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). “Keduanya belajar agama di salah satu masjid di Bukittinggi, secara perlahan mengalami proses radikalisasi. Dalam perkembangannya, mereka bersimpati kepada ISIS dan meyakini bahwa hijrah ke Syria berhukum wajib. Haram menetap di negeri kafir seperti Indonesia ketika khilafah sudah ditegakkan. Mereka juga membantu teman-temannya untuk berangkat hijrah ke Syria,” Solahudin menjelaskan.

Sejumlah peserta mengaku sangat senang mengikuti kegiatan ini lantaran mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang tantangan-tantangan perdamaian, termasuk isu radikalisme-ekstremisme. Seorang guru dari SMAN 2 Bukittinggi menyatakan, dari materi-materi yang didapatkannya dalam kegiatan tersebut, ia memahami ancaman radikalisme dan faktor-faktor penyebab keterlibatan seseorang dalam kelompok radikal-ekstrem. Menurut dia, sebagai sosok yang digugu dan ditiru oleh anak didik, guru harus menjadi teladan perdamaian, baik dalam materi pelajaran maupun perilaku sehari-hari, baik dalam lingkungan sekolah, kehidupan keluarga maupun sosial. “Kita hidup di Indonesia harus menyebarkan perdamaian di mana pun berada. Apa pun yang kita cita-citakan akan tercapai kalau di sekitar kita ada ketenteraman dan kedamaian,” ujarnya. (MSY) [SWD]

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi IX Juli 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *