Belajar Perdamaian dari Korban dan Mantan Pelaku Terorisme
Generasi muda jangan menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Upayakan penyelesaian masalah menggunakan cara-cara damai, bukan dengan tindakan kekerasan.
Demikian dikatakan salah satu siswa SMAN 3 Tangerang Selatan M. Hilmi Arif setelah mengikuti kampanye perdamaian dalam bentuk dialog interaktif bertajuk “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Kampanye perdamaian dilaksanakan di lima SMAN Tangerang Selatan yakni, SMAN 4, Kamis (19/3/2015), SMAN 1, Jumat (20/3/2015), SMAN 2, Senin (23/3/2015), SMAN 3, Selasa (24/3/2015) dan SMAN 5, Rabu (25/3/2015).
Pendapat hampir sama dikemukakan siswi SMAN 2 Tangerang Selatan, Atilah Reyna Salsabila. “Kita yang biasa menilai wajar kekerasan dibalas dengan kekerasan tapi setelah mengikuti kegiatan ini kekerasan dibalas dengan perdamaian. Mantan pelaku sudah meminta maaf dan korban memaafkannya,” ujarnya.
Pendapat dua generasi muda tersebut yang memandang pentingnya perdamaian muncul setelah mereka mendengarkan kisah Tim Perdamaian yang terdiri dari unsur korban dan mantan pelaku terorisme di sekolahnya. Dalam kampanye perdamaian ini Tim Perdamaian yang hadir yaitu, Ni Luh Erniati dan Suyanto (korban Bom Bali I), Vivi Normasari (korban Bom Hotel JW Marriott I Jakarta), Sudirman A Thalib, Iswanto dan Nanda Olivia Daniel (korban Bom Kuningan Jakarta), Max Boon (korban Bom Hotel JW Marriott II Jakarta), dan Ali Fauzi (mantan pelaku terorisme).
Dalam kesempatan itu, para korban menceritakan kisah hidupnya dalam tiga fase yakni sebelum kejadian bom, ketika kejadian bom dan pasca kejadian bom terorisme. Dengan penuh ketabahan mereka menceritakan kembali musibah yang menimpa beberapa tahun silam, yang mengakibatkan kecacatan fisik permanen hingga kehilangan orang yang dicintai. Mereka juga berbagi pengalaman bagaimana bisa bangkit dari keterpurukan dan terus menjalani kehidupan hingga sekarang.
Sabtu, 12 Oktober 2002, menjadi hari paling kelabu bagi Suyanto dan rekan-rekannya yang sedang bekerja di Sari Club Legian Kuta, Bali. Saat itu tempat dia bekerja diguncang bom berdaya ledak tinggi yang mengakibatkan dirinya mengalami luka-luka dan sebagian rekan kerjanya meninggal dunia. Setelah kejadian itu dirinya mengalami drop selama empat bulan.
“Akibat bom itu saya pernah mengalami trauma tidak bisa bertemu dengan orang lain. Bahkan ketika melihat orang berjenggot dan bajunya panjang saya tidak bisa tidur dan merasa ketakutan hingga tahun 2005,” tutur Suyanto.
Untuk menghilangkan trauma tersebut ia mengikuti konseling selama beberapa kali dan hasilnya ia sekarang tidak lagi takut ketika melihat orang berjenggot dan berbaju panjang. Kini ia sudah bangkit dan berwiraswasta untuk melanjutkan kehidupan.
Sementara itu, Vivi Normasari mengajak generasi muda untuk menghindari terorisme. Menurut dia aksi bom terorisme dapat mengubah kehidupan seseorang. Salah satu contohnya adalah dirinya sendiri. Akibat terkena ledakan bom ia sempat ketakutan menghadapi pernikahan dan kehilangan pekerjaan.
“Aksi kekerasan di belahan bumi manapun tidak dapat ditolerir. Kita hidup ini tidak sendiri. Ajaran agama yang kita anut juga tidak mengajarkan kekerasan melainkan penuh cinta kasih dan damai,” ucap Vivi.
Ketika mendengarkan kisah korban para siswa terlihat sedih dan terharu bahkan beberapa di antara mereka ada yang meneteskan air mata. Mereka larut dan berempati terhadap apa yang dialami teman-teman korban pada masa lalu hingga tetap survive menjalani kehidupan saat ini. Tak sedikit dari mereka kagum terhadap ketangguhan korban dalam menghadapi tantangan hidup meski dengan keterbatasan fisik.
Sementara mantan pelaku Ali Fauzi berbagi kisah pengalaman pribadinya yang pernah terjerumus dalam terorisme hingga akhirnya keluar dan bertaubat kembali ke jalan yang benar. Ketika memutuskan keluar dari kelompoknya ia sering mengalami teror dan ancaman melalui media sosial dan layanan pesan pendek. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk bertaubat dan melakukan kampanye perdamaian kepada masyarakat agar tidak ada lagi yang melakukan aksi terorisme. “Kini saya bersama teman-teman korban aktif menyebarkan pesan perdamaian,” ujarnya.
Pihak sekolah memberikan respon positif terhadap pelaksanaan kegiatan kampanye perdamaian, bahkan sebagian sekolah meminta agar di kemudian hari dilibatkan kembali dalam kegiatan serupa. Pihak sekolah mengaku kegiatan ini sangat bermanfaat untuk para siswa agar kelak menjadi generasi tangguh dan memiliki visi perdamaian. (AS) [SWD]