Home Opini Dari Pengantin Kekerasan Menuju Pengantin Perdamaian
Opini - 02/02/2017

Dari Pengantin Kekerasan Menuju Pengantin Perdamaian

Kata pengantin, selain diartikan pasangan kekasih yang telah mencapai puncak cinta, kita sering mendengarnya dengan dimaksudkan sebagai pelaku aksi teror bom bunuh diri. Disebut demikian karena konon setelah meledakkan diri dan menemui ajal, pelaku akan dijemput 72 bidadari cantik di surga. Para penganut paham teror menyebut pengantin bom bunuh diri sebagai serdadu Tuhan. Dalam mengemban tugas sebagai tentara Tuhan, mereka dengan sangat rela melepaskan ruh dari tubuh yang membelenggu di dunia yang fana ini.

Kepopuleran istilah pengantin bom tak lepas dari tulisan seorang kolumnis harian The New York Times, David Brooks, dalam majalah Atlantic edisi Juni 2002 dengan judul The Culture of Martyrdom (Budaya Kemartiran). Dalam pandangannya para pelaku bom bunuh diri pada umumnya sangat loyal kepada kelompoknya. Hal ini terjadi karena mereka sudah melalui proses indoktrinasi dan cuci otak. Mereka ditanamkan kebencian yang dalam kepada musuh-musuh yang telah ditentukan, biasanya orang atau kelompok orang di luar Islam yang disimbolkan sebagai kekuatan Barat dan para pendukungnya, serta diyakinkan akan masuk surga sebagai balasan atas tindakannya.

“Pengebom bunuh diri dicekoki bahwa surga terbentang di balik detonator pemantik bom dan ajal kematian akan dirasakan tidak lebih dari sekadar cubitan,” tulis Brooks. Mereka diingatkan secara intensif dan terus menerus bahwa hidup di dunia itu fana, hanya sementara, banyak penderitaan, cobaan dan pengkhianatan. Yang abadi adalah kehidupan di surga di mana ada 72 bidadari menunggu dengan penuh cinta.

Dari sinilah mungkin kata pengantin berkembang fungsi pemakaiannya sehingga sebagian orang menggunakannya sebagai istilah untuk menyebut pelaku bom bunuh diri. Contoh yang paling mutakhir dapat kita baca di pemberitaan media massa ketika polisi menangkap seorang perempuan yang diduga calon pengantin di Bekasi beberapa waktu lalu. Masa-masa belakangan, membaca berita yang menyebutkan polisi menangkap seseorang diduga calon pengantin kecenderungannya menggiring kita untuk memaknainya secara konotatif atau bukan makna sebenarnya, yaitu pengantin bom bunuh diri, ketimbang makna pengantin yang sebenarnya, pria atau wanita yang akan atau sedang melakukan pernikahan.

Memang sah-sah saja orang mengembangkan makna konotatif suatu kata dalam Bahasa Indonesia sesuai konteksnya. Dalam konteks terorisme saat ini sudah masyhur istilah pengantin bom. Menurut hemat penulis, diperlukan upaya untuk menyeimbangkan makna kata pengantin ke arah positif, tidak melulu istilah tersebut diasumsikan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Konkretnya, penulis bergagasan bahwa publik penting mempopulerkan istilah pengantin perdamaian sebagai kebalikan dari pengantin bom yang saat ini sudah menjadi lazim di jagat media massa nasional.

Pengantin perdamaian

Dalam setiap aksi terorisme terdapat dua elemen yang menjadi saling terhubung satu sama lain kendati sebelumnya tak saling kenal, yaitu korban dan pelaku teror. Meminjam istilah Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, korban adalah bukti nyata dampak destruktif aksi teror, sedangkan pelaku adalah cermin utuh dari sadisme kekerasan terorisme. Di antara para korban teror, masih banyak yang hingga kini merasakan sakit yang ditimbulkan dari serangan teror di masa lalu. Di antara para pelaku, sejumlah orang telah menyadari kesalahannya, meninggalkan jalan kekerasan dan statusnya kini menjadi mantan pelaku, bukan pelaku lagi.

Dua elemen ini, korban dan mantan pelaku, sering terlupakan perannya. Padahal, keduanya memiliki potensi besar untuk mengambil peran penting menyebarkan perdamaian kepada khalayak luas. Dari sisi korban, publik dapat mengetahui dampak nyata betapa merusaknya aksi terorisme. Sementara itu, dari sisi mantan pelaku masyarakat wajib menyadari bahwa paham ektstremisme/terorisme sangat berbahaya dan harus dicegah sedini mungkin.

Korban terorisme dan mantan pelaku inilah yang penulis maksudkan sebagai pengantin perdamaian. Memang tidak mudah menyatukan korban dan mantan pelaku mengingat secara lahiriah terlihat berseberangan, namun bukan tak mungkin mengupayakan rekonsiliasi di antara kedua pihak.

Pengalaman AIDA membuktikan hal itu. Rekonsiliasi di antara korban dan mantan pelaku menciptakan sebuah narasi yang kuat dalam membangun perdamaian di Indonesia. Dari persatuan dua pihak yang pada awalnya berlawanan ini muncul perspektif baru tentang makna kata pengantin, yaitu pengantin perdamaian.

Pengantin perdamaian adalah titik balik dari pengantin bom. Adalah tugas kita semua untuk mengawal dan mendukung korban dan mantan pelaku terorisme menjadi pengantin perdamaian. Menyediakan ruang bagi pengantin perdamaian untuk menyeru masyarakat akan bahaya paham ekstrem serta aksi terror adalah tindakan nyata membangun perdamaian di negeri ini. Dalam tradisi ilmu keislaman, persatuan dari pengantin perdamaian adalah realisasi dari kaidah fikih “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih“, mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kebaikan. Para penyintas terorisme dan mantan pelaku mungkin belum mampu membuat Indonesia menjadi negara yang maju secara ekonomi, namun persatuan mereka dapat melepaskan negeri ini dari belenggu terorisme. Wallahu a’lam bissawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *