Sebarkan Cinta untuk Indonesia Damai
“Ku lapangkan dadaku, karena dengan melapangkan dada langkah kaki akan lebih ringan untuk melangkah.”
Demikian pernyataan Ni Luh Erniati, saat berbagi kisah di hadapan para siswa SMAN 1 Lamongan, Jawa Timur, dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” pada awal Mei 2015. Perempuan kelahiran Singaraja, Bali ini menjadi orang tua tunggal bagi dua buah hatinya sejak peristiwa Bom Bali 2002. Bom dengan skala besar itu telah merenggut nyawa suami tercintanya yang kala itu tengah bekerja di kawasan Legian, Denpasar.
Saat mendengar ledakan keras dan disertai kabar terjadi aksi teror di Legian, Erni, begitu sapaan akrabnya, sempat masih meyakini bahwa suaminya pasti akan kembali malam itu. Namun, hingga pagi menjelang ternyata sang suami tak kunjung pulang. Dia lalu memberanikan diri untuk mendatangi lokasi kejadian.
Sesampainya di sana, yang ia lihat hanyalah puing-puing bangunan dan potongan tubuh manusia yang diangkut para relawan menggunakan tandu. Keyakinan bahwa suaminya masih hidup pun hancur seketika. Ia mencoba masuk ke dalam puing-puing reruntuhan namun dicegah oleh polisi yang sedang bertugas. Karena kondisi di lokasi tak memungkinkan, dia disarankan untuk mencari informasi keberadaan suami di RS Sanglah.
Sesampainya di RS Sanglah, sosok suaminya tak kunjung ia dapati. Erni hanya dapat melihat tumpukan potongan tubuh manusia yang sudah tidak bisa dikenali lagi. Selama dua minggu setiap hari Erni mencari kejelasan kabar suaminya di rumah sakit tapi hasilnya selalu nihil. Setelah itu dia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dengan kedua buah hatinya.
Selang waktu 4 bulan kemudian melalui tes DNA, jasad suaminya baru bisa teridentifikasi. Emosinya meluap. Suami yang ia rindukan, yang kepulangannya selalu diharapkan dan dinantikan, akhirnya ditemukan dan dapat dipulangkan namun dalam kondisi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Erni merasakan kejatuhan yang begitu hebat saat itu. Namun, berkat dukungan dari teman-temannya serta tekadnya untuk mendidik dan membesarkan dua buah hatinya, ia bangkit dari keterpurukan itu.
Wanita berkacamata itu merantau ke Denpasar untuk membentuk usaha konveksi bersama para janda korban Bom Bali. Dari usaha tersebut dia berpenghasilan untuk menghidupi anak-anaknya.
Selain bekerja mencari nafkah, dalam komunitas para janda korban tersebut Erni juga saling berbagi dan menguatkan satu sama lain. Meskipun para anggotanya beragam keyakinan, Erni dan rekan-rekan dapat bersatu, hidup rukun dan damai.
“Walaupun orang bilang kejadian itu (Bom Bali 2002) karena agama, tetapi di dalam komunitas itu kita bisa bersatu. Karena apa? Ibu percaya tidak ada agama yang mengajarkan untuk membunuh. Itu bukan kesalahan agamanya tetapi karena kesalahpahaman personalnya,” ujarnya di hadapan peserta Dialog Interaktif di SMAN 1 Lamongan.
Kini putra-putranya yang ia besarkan seorang diri sudah tumbuh besar. Anak pertamanya sudah menyelesaikan kuliah dan bekerja di salah satu rumah sakit di Bali. Anak keduanya saat ini masih melanjutkan studi. Kesuksesannya mendidik dan membesarkan anak-anak sangat ia syukuri.
Kendati ayah dari anak-anaknya telah tiada menjadi korban aksi kekerasan, Erni enggan menyimpan dendam atas peristiwa itu. Amarah dan kebencian dalam pandangannya hanya akan memunculkan rasa sakit bagi diri sendiri.
Ia selalu berpesan kepada anak-anaknya, juga kepada generasi muda bangsa, untuk gemar menumbuhkan semangat cinta perdamaian. Menurutnya, dengan saling menyayangi dan mencintai tidak akan ada kekerasan. Derita tercipta karena kebencian dan damai ada karena cinta.
“Tumbuhkan cinta, pertahankan cinta, dan sebarkan cinta untuk Indonesia damai.” kata Erni memungkasi