Semangat Perdamaian dari Ranah Minang
Seorang ibu paruh baya dengan sekuat hati berbagi kisah tentang tragedi yang menimpa suaminya 13 tahun silam. Malam itu, 12 Oktober 2002, sang suami tercinta meninggalkannya untuk selama-lamanya karena menjadi korban teror bom di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Saat kejadian, tulang punggung keluarga yang sedang mencari nafkah sebagai pengendara taksi itu tengah menunggu penumpang di depan sebuah kafe.
Ni Wayan Rastini menceritakan kisah pilu saat kehilangan suaminya, alm. Ketut Nana Wijaya, di hadapan puluhan siswa SMAN 3 Bukittinggi dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” pada Selasa (12/4/2016). Kegiatan tersebut merupakan satu kegiatan dari rangkaian safari kampanye perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di lima sekolah di Tanah Minang pada medio April lalu. Lima sekolah yang dikunjungi adalah SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4 dan SMAN 5 Bukittinggi.
Wanita kelahiran Denpasar itu kemudian bercerita tentang pengalamannya menjadi single parent untuk kedua putrinya. Sejak itu ia harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Ia pun bekerja keras untuk dapat membesarkan dan mendidik buah hati hingga jenjang perguruan tinggi. Kini putri pertamanya menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Denpasar, sementara putri keduanya duduk di sekolah menengah pertama.
Pengalaman yang kurang lebih sama dialami Mahanani Prihrahayu, istri dari almarhum Slamet Heriyanto. Di depan para siswa SMAN 2 Bukittinggi, ia bercerita tentang pengalamannya kehilangan suami akibat aksi teror bom di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003. Suaminya terkena ledakan bom saat sedang bekerja sebagai petugas keamanan.
“Dulu saat masih ada suami, saya merasakan keluarga kami itu sangat sempurna. Sejak ditinggal suami, saya sempat bingung karena harus menghadapi semua tantangan sendiri. Lalu saya berusaha sekuatnya dan berdoa, alhamdulillah sekarang anak-anak sudah beranjak remaja dan sekolah semua,” ia berucap.
Di hadapan generasi muda di Bukittinggi, Rastini dan Mahanani, dua janda korban aksi teror, juga berbagi kisah tentang semangat mereka bangkit dari keterpurukan. Meski keduanya telah kehilangan orang tercinta tapi mereka mampu tegar dan menjalani kehidupan yang penuh tantangan.
Rastini menjadi penjahit di sebuah perusahaan konfeksi bersama rekan-rekannya sesama korban Bom Bali demi membiayai kelangsungan hidup keluarga. Sementara itu, Mahanani berwirausaha membuka warung kelontong.
Dari kisah korban, para pelajar peserta Dialog Interaktif mengaku mendapatkan pembelajaran tentang makna ketangguhan. Mereka terkesan dengan semangat para korban dalam menghadapi cobaan kehidupan. Salah satunya seperti yang diungkapkan peserta dari SMAN 3 Bukittinggi. “Meski korban sudah kehilangan orang yang dicintainya tapi dia bisa menghadapinya dengan kesabaran dan keikhlasan,” ujarnya.
Selain Rastini dan Mahanani, tiga korban lain juga turut berbagi kisah dalam safari Dialog Interaktif AIDA. Mereka adalah Gatut Indro Suranto, korban Bom Bali 2002; Tita Apriyantini, korban Bom JW Marriott 2003; dan Albert Christiono, korban Bom Kuningan 2004.
Di samping kisah hidup korban, AIDA juga menampilkan pengalaman hidup mantan pelaku aksi kekerasan menuju pertaubatan dan jalan perdamaian. Mantan pelaku yang dilibatkan dalam safari kampanye perdamaian di Bukittinggi ialah Iswanto. Dalam setiap penyelenggaraan Dialog Interaktif di sekolah, kisah Iswanto meninggalkan jaringan teror juga menjadi pembelajaran bagi para peserta.
Ia berpesan kepada peserta Dialog Interaktif untuk pandai memelihara diri agar tidak terpengaruh ajakan aksi kekerasan dari kelompok mana pun dengan dalih dakwah atau jihad. Dampak aksi kekerasan, kata dia, merugikan banyak orang termasuk melukai saudara sebangsa sendiri. “Masa lalu telah saya tinggalkan, saya juga sudah meminta maaf kepada korban dan alhamdulillah saya dimaafkan. Sekarang saya bersama para korban bersatu menjadi Tim Perdamaian untuk mengajak adik-adik semua menjadi generasi bangsa yang damai, menghindari kekerasan,” ujar Iswanto.
Dalam acara Dialog Interaktif, mantan pelaku dan korban bersalaman sebagai simbol rekonsiliasi di antara mereka. Persatuan korban dan mantan pelaku mengundang decak kagum dan tepuk tangan para siswa peserta Dialog Interaktif.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, menekankan kepada para siswa agar cerdas mengambil hikmah dari kisah korban dan mantan pelaku. Generasi tangguh, kata dia, bukanlah yang kuat secara fisik atau materi melainkan yang mampu bangkit dari keterpurukan, memperbaiki kesalahan dan berlapang dada memaafkan sesama, sebagaimana dicontohkan korban dan mantan pelaku. Ajaran agama mengarahkan umatnya untuk menciptakan perdamaian dan perbaikan, bukan membuat kerusakan dan melakukan kekerasan. “Para korban mengajarkan kita jangan membalas kekerasan dengan kekerasan. Dari mantan pelaku, kita memahami untuk tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan,” ujarnya. [AS] (SWD)
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi IX Juli 2016.