Menumbuhkan Kesadaran Insan Media tentang Sudut Pandang Korban
Belasan wartawan tampak serius menulis naskah berita dengan objek sebuah kursi. “Anda sedang dikejar deadline. Karena alasan profesionalisme Anda dituntut membuat berita seobjektif mungkin. Berikan karya terbaik Anda!” Demikian perintahnya.
Pemandangan tersebut adalah bagian dari kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Surabaya, 22-23 Oktober 2016. Pemateri Hanif Suranto, peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan serta dosen ilmu komunikasi Universitas Media Nusantara, mengatakan kerja jurnalisme adalah membingkai fakta, untuk itu pewarta dituntut memberitakan fakta dengan meminimalkan subjektivitas. Tugas jurnalisme, lanjutnya, tidak sekadar melaporkan fakta, tetapi juga mencakup untuk tujuan apa fakta dilaporkan.
Secara khusus dalam liputan isu terorisme, dia memandang penting jurnalis memuat sudut pandang peristiwa atau sisi penegakan hukum, namun akan bernilai lebih bila juga menampilkan sudut pandang korban. Sudut pandang korban dalam liputan media, kata Hanif, bukan berarti menampilkan gambar para korban teror yang menderita melainkan mendorong kebijakan agar hak-hak korban terpenuhi, serta menempatkan mereka sebagai aktor perdamaian.
Hanif juga menganjurkan media tidak terpaku pada trend pemberitaan dengan prinsip names make news, yaitu memberitakan sesuatu berdasarkan ketokohan. Kendati korban terorisme merupakan kalangan awam, penyediaan ruang dalam pemberitaan bagi mereka juga penting dan bernilai edukasi bagi masyarakat, yaitu mengadvokasi korban terorisme agar hak-haknya tidak terabaikan.
“Kecenderungannya media mengundang pengamat untuk berbicara terorisme, padahal bisa juga kita meminta korban, bahkan nilainya lebih kuat sebab mereka yang betul-betul merasakan dampaknya,” ujarnya.
Dalam kursus singkat tersebut para peserta mendapatkan materi dari penyintas terorisme, yaitu Wayan Leniasih, korban Bom Bali 2002, dan Mulyono, korban Bom Kuningan 2004. Leni dan Mulyono secara bergantian menyampaikan kisah hidup mereka dalam berjuang untuk bangkit dari keterpurukan akibat aksi terorisme. Leni kehilangan suami tercinta yang menjadi tulang punggung keluarga akibat ledakan bom di Legian, Denspasar, 12 Oktober 2002. Sementara itu, Mulyono menderita luka serius di rahang bagian bawah setelah terkena efek ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jl. HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta, 9 September 2004.
Di hadapan para jurnalis peserta Short Course, Leni dan Mulyono mengatakan bahwa mereka telah berdamai dengan masa lalu serta tidak menyimpan dendam kepada orang-orang yang pernah terlibat terorisme. Penuturan kisah Leni dan Mulyono mendorong para wartawan untuk menggali lebih dalam tentang ketegaran mereka menghadapi musibah. Salah satu peserta mengaku heran di tengah realitas masyarakat, terutama di dunia maya, di mana terjadi baku hujat dan hinaan setiap hari, para penyintas malah mengampanyekan perdamaian. “Apa yang membuat Ibu dan Bapak begitu kuat untuk memaafkan dan sekarang mengajak masyarakat pada jalan perdamaian?” tanya dia.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Leni dan Mulyono mengaku tidak berkeinginan untuk membalas kekerasan dengan kekerasan lainnya sebab bila demikian maka hanya akan tercipta spiral kekerasan, dan kedamaian tak pernah terwujud. Leni mengatakan, sebagai pemeluk agama Hindu dia juga banyak bersahabat dengan umat agama lain. Dia percaya setiap agama tidak membenarkan manusia menyakiti manusia lain. “Saya anggap para teroris itu orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan salah arah memahami agama,” ujar Leni.
Senada hal itu, Mulyono menambahkan alasan mengapa dia bersemangat mengampanyekan perdamaian. “Saya percaya bahwa yang baik dan yang buruk itu terjadi seizin Allah. Yang kedua, setiap sakit yang kita rasakan itu insyaallah menggugurkan dosa kita. Ketiga, Allah berjanji sampai dua kali, setelah ada kesulitan pasti ada kebaikan. Dua kali janji Allah, masa kita nggak percaya. Setelah ada keburukan pasti ada kebaikan, pasti ada kemudahan,” kata Mulyono merujuk pada Alquran Surat Al-Insyirah ayat 5 dan 6: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (5). Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (6).”
Terkait hak korban terorisme, Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam Short Course mengatakan bahwa selama ini pemenuhannya belum optimal dilakukan negara. Salah satu yang dia sebutkan adalah hak kompensasi. Kendati hak tersebut telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme namun hingga kini belum satu pun korban yang mendapatkannya. Penyebabnya adalah mekanisme pemberian kompensasi dari negara kepada korban mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Guna mengatasi kendala tersebut AIDA telah menyampaikan usulan ke Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat yang saat ini bersama pemerintah sedang membahas revisi UU tersebut.
“Di sinilah pentingnya peran media. Hak-hak para korban yang masih terabaikan ini harus menjadi pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Selain itu, media juga berperan penting untuk memposisikan korban sebagai pihak yang berpotensi menyadarkan masyarakat tentang nilai penting perdamaian sekaligus menunjukkan dampak nyata kekerasan,” ujarnya.
Dalam kursus singkat itu peserta juga mendapatkan ma-teri Belajar dari Tim Perdamaian yang disampaikan Vivi Nor-masari, penyintas Bom JW Marriott 2003, dan Ali Fauzi, mantan anggota kelompok teror. Vivi dan Ali telah berekonsiliasi dan beberapa kali berduet untuk mengampanyekan perdamaian di masyarakat. Persatuan Vivi dan Ali untuk perdamaian, disimbolkan dengan berjabat tangan, menjadi pemandangan tersendiri bagi para peserta.
Setelah mengikuti Short Course diharapkan para pekerja media mampu membuat produk jurnalistik yang berperspektif korban, yang mengadvokasi hak-hak serta memberikan peran kepada mereka untuk membangun perdamaian di Indonesia. (MLM) [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XI Januari 2017