Home Berita Perjumpaan Pela Gandong dengan Semangat Perdamaian Korban
Berita - 13/03/2017

Perjumpaan Pela Gandong dengan Semangat Perdamaian Korban

Matanya terlihat berkaca-kaca menceritakan tragedi kekerasan saat konflik komunal menggelora di Ambon, Maluku, belasan tahun silam. Dia tak habis pikir mengapa saat itu manusia begitu kejam melakukan kekerasan dan berbuat kerusakan di mana-mana.
Pemuda itu menceritakan kisahnya saat berdialog dengan Tim Perdamaian yang terdiri atas korban dan mantan pelaku aksi terorisme dalam acara Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Ambon, akhir Agustus lalu. Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), guru SMAN 13 Ambon itu mengaku kagum akan ketangguhan korban dan mantan pelaku menghadapi musibah.
“Konflik sudah berakhir tapi saya masih sering terbayang dengan peristiwa itu. Saya mau belajar dari Bapak dan Ibu dari Tim Perdamaian AIDA ini, bagaimana bisa ikhlas dan teguh hatinya padahal pernah mengalami kejadiaan nahas,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam pelatihan itu dua orang penyintas terorisme, Mahanani Prihrahayu (korban Bom JW Marriott 2003) dan Albert Christiono (korban Bom Kuningan 2004) berbagi kisah. Mahanani kehilangan suaminya, alm. Slamet Heriyanto, yang saat kejadian sedang bekerja di Hotel JW Marriott Jakarta. Sejak tragedi itu, ia menjadi orang tua tunggal bagi dua buah hatinya. Sementara itu, Albert mengalami cedera di bagian kepala akibat ledakan bom di kawasan Kuningan, Jakarta pada 9 September 2004. Meski kedua penyintas tersebut mengalami cobaan berat tapi mereka ikhlas dan tabah. Mereka tidak mendendam mantan pelaku aksi kekerasan tapi justru memaafkan.
“Kejadian ini sudah takdir Allah SWT. Saya bertemu mantan pelaku pertama kali di Bukittinggi bulan April lalu. Kami akhirnya berekonsiliasi, mantan pelaku sudah meminta maaf dan saya memaafkannya,” tutur Mahanani. Hal senada disampaikan Albert. “Saya juga sudah memaafkan mantan pelaku dan sekarang kami bersama-sama menyampaikan pesan perdamaian,” kata Albert.
Menguatkan pemaparan korban, mantan anggota jaringan terorisme, Ali Fauzi, mengimbau para guru peserta pelatihan agar menjadi pelopor pelestari perdamaian di Ambon. Ia mengingatkan, konflik komunal di kota multikultur itu jangan sampai terulang kembali. Pasalnya, kerusuhan di suatu daerah sangat rentan dijadikan pemantik bagi kelompok prokekerasan untuk melegalkan aksi teror di daerah lain. “Karena itu mari kita jaga keamanan dan kedamaian negeri ini, khususnya di kota kita ini, kota Ambon Manise,” ungkapnya.
Selain dari Tim Perdamaian, peserta juga mendapatkan pembelajaran tentang kiat menjadi guru damai dengan narasumber Direktur Ambon Reconciliation-Mediation Center, Abidin Wakano. Pegiat perdamaian itu berbagi pengalaman saat membangun gerakan yang menyadarkan warga tentang pentingnya semangat bersaudara di Ambon. Saat konflik berkecamuk di Ambon pada 1999, dia menggalang persatuan warga di kampungnya untuk mencegah kerusuhan menjadi lebih besar. Ia juga menginisiasi berbagai kegiatan dialog sebagai sarana mediasi dan komunikasi antarpemeluk agama.
Dari perjuangannya memediasi konflik di Ambon, Abidin pernah mendapatkan julukan provokator damai dari sebuah stasiun televisi swasta nasional. Dalam pelatihan siang itu, ia mengungkapkan para guru mengemban peran penting untuk melestarikan perdamaian di bumi Maluku.
“Yang perlu dilakukan bersama adalah mengembangkan teologi orang basudara (orang bersaudara), yaitu belajar saling memahami, saling mempercayai, saling menyayangi. Potong di kuku, rasa di daging. Ale rasa beta rasa (kamu rasa aku rasa-red), sagu salempeng dibagi dua (sagu satu makan dibagi dua),” ujarnya.
Disaksikan para guru peserta pelatihan, Mahanani, Albert dan Ali Fauzi menyatukan genggaman tangan sebagai simbol rekonsiliasi dan persatuan. Kisah rekonsiliasi Tim Perdamaian tersebut menginspirasi para peserta untuk terus menjaga perdamaian di Ambon. Mereka bertekad akan terus memegang erat budaya pela gandong, sistem hubungan sosial di Maluku yang bermakna ikatan persatuan antarpenduduk dengan saling menganggap saudara walaupun berbeda latar belakang tradisi.
“Kegiatan ini telah memperkuat kami sebagai guru bahwa perbedaan di Ambon itu sebuah keniscayaan. Tapi, dari perbedaan ini kita harus bisa hidup dengan damai. Mari kita memperkuat agar Ambon menjadi laboratorium perdamaian dunia,” kata salah satu peserta dari MAN 1 Ambon.
Selama pelatihan berlangsung nuansa kebersamaan dan kekeluargaan di antara peserta begitu terasa. Dengan segala perbedaan yang ada, mereka saling menghormati dan bekerja sama. “Persahabatan dan kebersamaan kita para guru selama pelatihan ini menunjukkan bahwa katong (kita) basudara, orang Maluku bersaudara. Setelah pelatihan ini kami akan kembali ke sekolah menjadi duta perdamaian, menanamkan pentingnya perdamaian kepada anak didik dan masyarakat,” ujar salah satu guru MAN 2 Ambon.
Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” diikuti 21 guru SMA dan MA di Ambon yang terdiri dari guru pendidikan agama, guru pembina OSIS, dan guru pembina Rohis. Mereka berasal dari lima sekolah yaitu MAN 1 Ambon, MAN 2 Ambon, MA Al Fatah Ambon, SMAN 3 Ambon, dan SMAN 13 Ambon. (AS) [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi X Oktober 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *