Home Berita Membumikan Dakwah Perdamaian dari Kisah Korban
Berita - 06/03/2017

Membumikan Dakwah Perdamaian dari Kisah Korban

“Korban memiliki kekuatan luar biasa untuk memberikan sugesti kepada masyarakat agar tidak melakukan aksi kekerasan atau teror sebab merekalah yang merasakan langsung dampak aksi teror. Karena itu, korban merupakan satu kekuatan yang sangat berpengaruh untuk membangun Indonesia yang lebih damai.”
Demikian ungkap seorang peserta Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (6/8/2016). Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Pusat Layanan Psikologi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, para aktivis dakwah dari organisasi Al-Washliyah di wilayah Medan dan sekitarnya bersilaturahmi dengan tiga penyintas terorisme, Nanda Olivia Daniel (korban Bom Kuningan 2004); Warti dan Hayati Eka Laksmi (korban Bom Bali 2002).
Dalam kesempatan itu, para penyintas berbagi kisah hidupnya yang berubah drastis akibat aksi terorisme. Ledakan bom di kawasan Legian, Kuta, Bali, telah merenggut nyawa suami Warti dan Hayati Eka Laksmi yang sedang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga tercinta.
“Saya menangis histeris tatkala mengetahui suami meninggal menjadi korban Bom Bali. Anak masih berusia empat tahun, dan saya tidak punya siapa-siapa di Bali karena hanya ikut suami. Saya sempat sedih, resah bagaimana merawat dan membesarkan anak kami seorang diri,” Warti berkisah diselingi isak tangis.
Menyambung rekannya, Eka menceritakan pengalamannya menjadi korban terorisme di hadapan peserta pelatihan. Ia mengaku bersedia membagi kisah hidupnya kepada tokoh agama karena ingin mengingatkan masyarakat tentang dampak terorisme yang dialami diri dan rekan-rekannya, dan berharap tidak ada lagi korban lain. “Cukuplah kami yang merasakannya. Kami ingin menyadarkan masyarakat dengan keadaan kami,” kata Eka.
Sementara itu, akibat bom di depan Kedutaan Besar Australia Kuningan, Jakarta, 9 September 2004, Nanda mengalami cacat permanen pada jari-jari tangan. Dalam pelatihan, ia menuangkan kepedihan lantaran merasa kepedulian pemerintah dalam memberikan layanan medis saat dirinya terdampak ledakan bom sangat lambat.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam forum pelatihan menyampaikan saat ini pihaknya melakukan advokasi agar revisi UU Antiterorisme yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat memuat aturan jaminan pemerintah atas biaya pengobatan korban terorisme pada masa kritis. Dengan aturan itu diharapkan tidak ada lagi pengalaman pahit seperti yang menimpa Nanda.
Selain itu, Hasibullah juga menyatakan bahwa masyarakat bisa mengambil pembelajaran dari kisah korban bahwa betapa pentingnya perdamaian dalam kehidupan. Ia mengimbau para tokoh agama menyampaikan dakwah kepada masyarakat dengan memuat pembelajaran dari penyintas terorisme dan diperkuat dengan dalil-dalil keagamaan.
“Kita ingin mendorong para tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya penggunaan aksi kekerasan, sekaligus menjelaskan dampak destruktif aksi teror terhadap korban dan keluarganya yang nota bene umat beragama,” kata dia.
Di samping korban terorisme, pelatihan juga menghadirkan narasumber pakar, yaitu pengamat jaringan ekstremisme, Sofyan Tsauri, dan Rois Syuriah PBNU, KH. Masdar Farid Mas’udi. Sofyan menilai kelompok jihadi-takfiri telah mereduksi ajaran agama dan salah memahami ayat-ayat Alquran, terutama tentang jihad. Menurut dia, kelompok ekstremis telah seenaknya sendiri mengkafirkan orang yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka, dan memangkas makna jihad menjadi perang semata.
“Karena itu para mubalig harus bisa meluruskan makna ayat-ayat itu, dan menjaga keamanan serta ketertiban agar tidak terjadi konflik sosial di masyarakat. Sebab, konflik sosial bisa menjadi pemantik bagi kelompok jihadis untuk melakukan aksi terorisme,” ujarnya.
Sementara itu, Kiai Masdar berpendapat paham ekstremisme bisa muncul dari segala macam ideologi, termasuk agama. Ia mengungkapkan ekstremisme dapat dicegah dengan cara beragama yang moderat, yaitu melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya disesuaikan dengan konteks zaman dan tempat.
Dalam pelatihan itu para peserta juga mendapatkan pembelajaran dari rekonsiliasi korban dan mantan pelaku aksi kekerasan. Narasumber pada sesi ini adalah Albert Christiono (korban Bom Kuningan 2004) dan Iswanto (mantan anggota jaringan terorisme).
Iswanto telah melepaskan diri dari kelompok teroris dan telah meninggalkan jalan kekerasan. Ia mengaku salah satu faktor yang menyebabkan dirinya menyadari kekeliruan ajaran kelompok teror adalah perjumpaannya dengan para korban terorisme. “Mereka mengalami sakit yang luar biasa karena aksi teman-teman saya dulu. Saya betul-betul minta maaf kepada para korban,” kata dia.
Sementara itu, Albert mengaku tidak pernah menyimpan dendam kepada para pelaku aksi teror. Dalam agamanya, ia dididik untuk mengasihi manusia. Tulus dari dalam hati ia telah memaafkan mantan pelaku. Di hadapan para peserta pelatihan, Albert dan Iswanto berjabat tangan sebagai simbol rekonsiliasi dan persatuan antara korban dan mantan pelaku untuk menyuarakan perdamaian.
Para peserta mengaku mendapatkan sudut pandang baru tentang dakwah dan perdamaian setelah mengikuti pelatihan. Mereka mengapresiasi para korban yang mampu mengambil peran menyuarakan perdamaian di masyarakat. “Kami akan membumikan pesan-pesan perdamaian dalam kegiatan dakwah dan kehidupan sosial,” ujar salah seorang peserta. (AS) [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA ” Suara Perdamaian” edisi X Oktober 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *