Home Berita Ikrar Damai dari Bima
Berita - 01/03/2017

Ikrar Damai dari Bima

Dengan senyum mengembang dua individu berhati damai berjabat tangan erat disaksikan puluhan pasang mata siswa dan guru SMAN 1 Bolo Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka adalah Tumini, korban aksi teror Bom Bali 2002, dan Ali Fauzi, mantan pelaku aksi kekerasan. Saat berjabat tangan, Tumini dan Ali mengucapkan ikrar damai.
Peristiwa tersebut terjadi dalam forum “Dialog Interaktif Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMAN 1 Bolo pada 30 Oktober 2015. Kegiatan itu merupakan rangkaian safari kampanye perdamaian AIDA di lima sekolah di NTB, yakni SMAN 1,SMAN 3, SMAN 4 Kota Bima, SMKN 2 Kota Bima, dan SMAN 1 Bolo, Kabupaten Bima.
Dengan segala kerendahan hati mantan pelaku kekerasan, Ali Fauzi, meminta maaf kepada korban atas kekeliruan kelompoknya pada masa silam. Sebagai korban aksi kekerasan, Tumini berjiwa besar memaafkan kekhilafan mantan pelaku yang telah mencederai fisik dan mentalnya pada masa lalu, meski proses pemaafannya membutuhkan waktu yang panjang. “Sebagai korban, seratus persen saya ikhlas memaafkan pelaku yang telah melukai badan saya,” ujarnya.
Salah satusiswi SMAN 1 Bolo yang menjadi peserta kegiatan sempat tak yakin dengan kalimat tegas Tumini. “Ibu menyatakan, saat ini sudah berdamai dengan masa lalu, tetapi memaafkan itu butuh proses, bagaimana proses memaafkanitu dan seberapa lama?” dia bertanya.
Menanggapi hal itu, Tumini mengakui memaafkan orang yang menyakiti dirinya sangat tidak mudah, butuh waktu bertahun-tahun. Apalagi aksi brutal para teroris telah membuatnya kehilangan pekerjaan, padahal saat itu ia merupakan tulang punggung keluarga.
Pada masa-masa awal setelah peristiwa Bom Bali, Tuminisangat marah dan tidak dapat memaafkan kejahatan para pelaku. Namun, seiring berjalannya waktu ia memilih untuk berdamai dengan masa lalu dan enggan membalas kekerasan yang menimpanya dengan kekerasan serupa. “Lama kelamaan saya berpikir, manusia hidup pasti ada salahnya. Kalau kekerasan dilawan dengan kekerasan maka tidak akan pernah ada ujungnya,” katanya.
Usai cedera fisiknya sembuh, Tumini sempat ditolak saat melamar kerja di pelbagai tempat. Bekas luka bakar di tubuhnya akibat bom menjadi alasan penolakan itu. Namun, semangatnya tak kendur. Enggan larut dalam kesedihan berkepanjangan, ia memutuskan berjualan nasi bungkus di bandara Ngurah Rai, Denpasar. “Alhamdulillah, Tuhan kasih saya rezeki melimpah hingga saya bangkit kembali dan kini dipertemukan dengan AIDA untuk mengampanyekan perdamaian,” terang dia.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, menyambut positif ikrar damai Tumini dan Ali dalam kegiatan siang itu. Permintaan maaf dari mantan pelaku dan pemberian maaf dari korban, kata dia, merupakan wujud kerja sama sinergis berbagai elemen bangsa dalam upaya pembangunan perdamaian di Indonesia.
Hasibullah juga mengajak para siswa meneladani ketangguhan Tumini. Selain mampu bangkit dari keterpurukan, perempuan 40 tahun itu mampu berdamai dengan kenyataan masa lalunya, serta mengikhlaskan kesalahan yang diperbuat saudara sebangsanya. “Kalau dulu ibu kita Kartini, maka sekarang ada yang baru, ibu kita Tumini,” ujarnya berkelakar yang disambut riuh tawa para siswa.
Kegiatan dialog interaktif di SMAN 1 Bolo siang itu semakin hangat dengan antusiasme para siswa yang mengaku terinspirasi atas sikap hidup Tumini. Seorang siswa menilai sangat jarang ada orang bisa sabar, ikhlas, dan memaafkan orang lain yang telah menyakiti sampai membekaskan luka sepanjang hidup. “Ibu Tumini bisa memaafkan para pelaku, termasuk kepada Pak Ali Fauzi yang pernah menjadi bagian dari kelompok pelaku. Luar biasa mulianya,” ucap sang siswa di tengah acara.
Tak hanya Tumini yang membangkitkan jiwa damai dan ketangguhan para siswa di Bima. Iwan Setiawan,korban Bom Kuningan Jakarta 2004, juga menginspirasi generasi muda Bima untuk berhati damai dan tangguh. Dalam kegiatan dialog interaktif di SMKN 2 Kota Bima, ia menuturkan telah ikhlas menjalani kehidupan meski mengalami cacat permanen akibat bom. Ia tak maumenaruh dendam di dalam hati kepada pelaku kekerasan yang telah menyakitinya. Sarjana ilmu komputer itu memilih menguatkan diri dengan filosofi “tukang parkir”. Meski seharian menjaga ratusan mobil dan motor, tukang parkir selalu ikhlas ketika satu persatu kendaraan diambil pemiliknya. Dia menyadari bahwa semua yang ada padanya hanya titipan sementara.
Di hadapan kawula muda Bima, Iwan melantunkan petikan ayat suci Alquran, “Inna shalaty wa nusuky wa mahyaya wa mamaty lillahi rabbil alamin” (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya milik Allah penguasa semesta alam). Ia terus berusaha mengimplementasikan ayat tersebutdalam hidupnya. “Jadi ketika sebagian nikmat saya diambil, mata kananhilang, istri meninggal, saya tetap harus kuat, harus ikhlas, karena semua itu hanya titipan Allah. Semua adalah kehendak dan suratan takdir. Qadha danqadar manusia di tangan Allah. Keikhlasan hati dan kasih sayang sesama manusia harus selalu ditanamkan di hati,” tuturnya.
Pengalaman hidup Iwan sangat menyentuh hati siswa-siswi dari beberapa sekolah di Kota Bima. Seorang siswa SMKN 2 mengaku termotivasi untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan setelah mendengar kisah pria asal Brebes, Jawa Tengah itu.
Sementara itu mantan pelaku aksi terorisme, Ali Fauzi, di depan para pelajar menyampaikan pesan pentingnya menghindari aksi kekerasan. Alasannya, kekerasan menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan tanpa batas, seperti yang dialami Tumini dan Iwan, dua korban bom yang kini menjadi sahabatnya dalam Tim Perdamaian AIDA.
Ali mengakui pertemuannya dengan sejumlah korban bom terorisme semakin mengukuhkan tekadnya untuk meninggalkan jaringan kelompok kekerasan yang pernah dia ikuti. Menurut dia, “Korban adalah orang tak berdosa dari aksi kekerasan. Mengetahui atau mendengarkan kisah teman-teman korban tersakiti karena ledakan bom itu sungguh membuat saya sadar bahwa aksi teror itu sangat-sangat tidak bisa dibenarkan.”
Dampak buruk aksi kekerasan seperti terorisme menyadarkan para siswa peserta Dialog Interaktif di Bima bahwa kekerasan bukan solusi. Salah satu siswa SMAN 1 Kota Bima berkomentar bahwa aksi terorisme sangat dilarang dalam Islam. Seorang siswa SMAN 4 Kota Bima juga melontarkan pemikiran senada. Menurut dia, aksi kekerasan yang dilakukan kelompok tak bertanggung jawab telah membuat citra agama Islam menjadi buruk. Aktivitas mereka yang membunuh dan melukai manusia sungguh merupakan dosa besar. “Islam itu agama damai. Kalau mau memberantas kemaksiatan pun harus dengan cara damai. Memberantas kemaksiatan dengan kekerasan justru memicu malapetaka yang lebih besar,” tuturnya. (MSY) [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi VII Januari 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *