Home Inspirasi Dulu di Jalan Kekerasan Kini Merajut Perdamaian

Dulu di Jalan Kekerasan Kini Merajut Perdamaian

Detonator, bahan peledak, dan senjata api adalah barang-barang berbahaya. Hanya pihak tertentu yang absah membawa dan menggunakannya. Pria 46 tahun ini pernah sangat akrab dengan benda-benda tersebut. Ia mahir merakit bahan-bahan kimia hingga menjadi bom berdaya ledak tinggi. Ia lama berlatih ilmu militer dan menerapkannya di banyak medan pertempuran. Tetapi, itu masa lalunya, kini ia memilih menjadi pegiat perdamaian.

Ia bernama Ali Fauzi Manzi, adik dari dua terpidana mati kasus Bom Bali 2002, Ali Ghufron dan Amrozi. Ali adalah mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah menimba ilmu di Akademi Militer Moro Islamic Liberation Front (MILF) Filipina angkatan 1994. Soal taktik perang dan teknis persenjataan, Ali fasih menjelaskannya. Tak heran, saat konflik komunal meletus di Ambon dan Poso, ia diangkat sebagai kepala instruktur pelatihan militer milisi nusantara.

Usai konflik mereda, Ali kembali menyeberang ke Filipina, sebab namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian Indonesia. Di sana ia bertugas sebagai Kepala Kamp Militer Pawas Mindanao Filipina Selatan. Menyelundupkan senjata dan bahan peledak adalah bagian dari tugasnya. “Sepintar apa pun tupai melompat, pasti bakal jatuh juga.” Peribahasa itu kerap digunakan Ali untuk menggambarkan nasibnya saat tertangkap oleh aparat keamanan Filipina pada tahun 2004.

Pada 2006, Ali dideportasi ke Indonesia dalam kondisi cedera parah. Tujuh ruas tulang rusuknya patah. Oleh pihak kepolisian Indonesia, Ali dikirim ke rumah sakit untuk proses pengobatan. Dari hasil penyelidikan, Ali dinyatakan tidak terlibat pelanggaran pidana di wilayah hukum Indonesia. Kendati demikian, Ali dalam pengawasan penuh kepolisian. Dalam proses pengawasan itu, Ali kerap menjenguk dua terpidana seumur hidup kasus Bom Bali I, yaitu Ali Imron dan Mubarok. Ali Imron adalah kakak kandung Ali Fauzi, sementara Mubarok adalah gurunya. Ketiganya kerap berdiskusi tentang aksi-aksi terorisme di Indonesia dan berakhir pada kesimpulan bahwa aksi-aksi tersebut adalah salah besar. Karenanya, Ali diwanti-wanti agar tidak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan atas nama agama itu.

Atas beasiswa pemerintah Indonesia, Ali melanjutkan studinya di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya. Ia belajar tentang mazhab-mazhab pemikiran Islam yang kaya ragamnya. Di awal kuliah Ali kerap bersitegang dengan para pengajarnya. Ia menilai pandangan dosennya salah, karena berbeda dengan ajaran dan doktrin yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran tunggal. Namun, seiring waktu Ali menyadari bahwa ajaran Islam ternyata sangat kaya dan beragam.

Pada tahun 2011, Ali diundang menghadiri konferensi yang digagas oleh Google Ideas SAVE di Dublin, Irlandia. Dalam kesempatan tersebut, Ali berjumpa dan berbincang dengan Febby Firmansyah, korban Bom JW Marriott 2003. Melihat kondisi tubuh Febby yang penuh bekas luka, air mata Ali tumpah ruah tak terbendung. Kesedihan Ali memuncak karena salah satu perakit bom yang mencederai Febby adalah bekas muridnya. Ali memeluk erat Febby sambil berulangkali menyatakan permintaan maaf. Usai pertemuannya dengan Febby, Ali kian yakin bahwa pilihannya meninggalkan jaringan kekerasan adalah jalan yang benar.

Sejak tahun 2013, ia bergabung dengan Tim Perdamaian AIDA dan melakukan rekonsiliasi dengan puluhan korban terorisme.  Ali Fauzi alias Salman alias Abu Ridho alias Ikrimah yang mengaku pernah lebih mahir merakit bom ketimbang membuat layang-layang, kini bertekad merajut dan mengampanyekan perdamaian bersama korban-korban terorisme. [MSY] (SWD)

 

(Diolah dari penuturan Ali Fauzi dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Baleendah, Bandung (24/1/2017))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *