Home Berita Kebesaran Jiwa Korban Memaafkan Mantan Pelaku
Berita - 11/04/2017

Kebesaran Jiwa Korban Memaafkan Mantan Pelaku

Dok. AIDA – Kebersamaan antara korban dengan mantan pelaku terorisme setelah mengikuti Pelatihan Tim Perdamaian di Kota Tasikmalaya (24-25/9/2017)
Atot berdiri dari tempat duduknya dan bergegas menjulurkan tangan kepada Iswanto yang berada di sampingnya untuk berjabat tangan. Seketika Iswanto pun menyambutnya dan mereka bersalaman. “Saya telah memaafkan Bapak,” ujar Atot.
Atot Ruhendar adalah korban terorisme di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003, sementara Iswanto mantan anggota jaringan terorisme yang telah bertobat. Momen itu terjadi dalam kegiatan Pelatihan Tim Perdamaian yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, akhir September lalu.
Meski Atot mengalami luka bakar di beberapa bagian tubuh akibat ledakan bom terorisme dan dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan, tapi ia tidak dendam pada mantan pelaku. Justru dengan lapang dada dan ikhlas ia telah memaafkan mantan pelaku. Pria kelahiran Tasikmalaya, 4 Desember 1947, ini mengemukakan dirinya memaafkan mantan pelaku lantaran menyadari bahwa memaafkan sesama merupakan perbuatan mulia.
“Setelah saya mendengarkan kisah Bapak (Iswanto) kembali ke jalan yang benar dan jalan perdamaian, saya telah memaafkan Bapak. Sesama manusia hendaknya kita saling memaafkan. Saya sudah ikhlas atas apa yang terjadi pada saya, itu sudah takdir Allah SWT,” ujar Atot.
Sikap serupa juga ditunjukkan dua korban lainnya yakni Didik Hariyono dan Sutarno. Sama seperti Atot, Didik korban Bom JW Marriott 2003, sedangkan Sutarno ialah korban aksi teror di Jl. HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta pada 9 September 2004. Didik dan Sutarno juga telah ikhlas menerima takdir Tuhan yang menimpa dirinya belasan tahun silam dan kini telah memaafkan mantan pelaku.
Akibat ledakan bom terorisme, Didik mengalami luka bakar cukup parah. Ia menjalani beberapa kali operasi dan dirawat di rumah sakit selama 11 bulan. Akibat musibah itu ia harus kembali belajar berjalan, belajar menggenggam sesuatu, belajar bicara hingga belajar makan dan menulis. Sementara itu, Sutarno mengalami luka-luka di punggungnya karena tertimpa “hujan kaca” dari sebuah gedung di kawasan Kuningan yang rusak akibat ledakan bom. Ia mendapatkan beberapa jahitan di punggung dan menjalani perawatan selama sebulan.
Sebelumnya, dalam kegiatan itu, mantan pelaku, Iswanto, telah menuturkan kisah hidupnya. Saat berkisah ia menyampaikan permohonan maaf kepada para korban yang hadir. Ia mengaku sangat prihatin melihat kondisi para korban yang mengalami luka-luka, cacat fisik atau meninggal dunia akibat kejahatan terorisme. Meski tidak terlibat aksi terorisme yang menimpa Atot, Didik dan Sutarno, Iswanto tetap meminta maaf kepada mereka. “Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para korban. Permohonan maaf ini bukan hanya sekadar ucapan di mulut tapi dari lubuk hati saya yang paling dalam,” tuturnya.
Dalam kegiatan itu Iswanto juga membeberkan masa lalunya tatkala bergelut dalam jaringan terorisme dan dunia konflik. Setelah masa tertentu, ia memutuskan untuk keluar dari jaringan kelompoknya. Pertobatan dan kembali ke jalan perdamaian yang dialami Iswanto tidak instan dan mudah, melalui proses yang panjang bahkan sempat dikucilkan oleh teman-temannya dahulu. Namun, tekadnya kuat dan istrinya selalu menguatkan dan mendukung keterlibatannya dalam kegiatan misi perdamaian.
Sementara itu, mantan pelaku lain yang hadir sebagai observer, Kurnia Widodo, mengaku sangat terharu mendengarkan kisah para korban. Ia takjub dengan kebesaran jiwa dan keikhlasan para korban yang memaafkan mantan pelaku, termasuk dirinya. “Melihat Bapak-bapak (Atot, Didik dan Sutarno) yang begitu ikhlas memaafkan mantan pelaku, saya merasa bersalah meski bukan pelaku yang terlibat dalam kejadian yang menimpa Bapak-bapak,” ucap dia.
Baik Iswanto maupun Kurnia mengaku sangat senang mengikuti Pelatihan Tim Perdamaian karena bisa bersilaturahim dengan korban. Melalui kegiatan ini mereka mengaku mendapatkan pengalaman sekaligus teman baru. Mereka pun dapat berteman tanpa ada rasa takut dan curiga. Kebersamaan dan kekeluargaan di antara mereka yang telah menjadi Tim Perdamaian begitu terasa. Mereka siap bekerja sama untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan Pelatihan Tim Perdamaian merupakan proses pembentukan sebuah tim yang terdiri dari korban dan mantan pelaku terorisme. Melalui kegiatan ini korban dan mantan pelaku didorong untuk terbuka membagi kisah masa lalu agar bisa saling mengenal, memahami dan menguatkan.
“Setelah korban dan mantan pelaku bisa saling mengenal dan mengerti satu sama lain maka diharapkan mereka mampu saling memaafkan atau berekonsiliasi. Mereka akan menjadi satu tim untuk misi perdamaian,” kata dia.
Lebih lanjut Hasibullah menjelaskan Tim Perdamaian akan melakukan kampanye perdamaian dengan membagi pengalaman hidupnya kepada tunas-tunas bangsa di lima sekolah di Kota Tasikmalaya. Diharapkan setelah mendengarkan kisah Tim Perdamaian, para tunas bangsa menyadari pentingnya hidup damai dalam bermasyarakat. (AS) [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XI Januari 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *