Home Berita Tiada Dendam Mencengkeram Hati
Berita - 10/04/2017

Tiada Dendam Mencengkeram Hati

PADA 9 September 2004 sekitar pukul 10.00 WIB, Iwan Setiawan melewati Jalan HR Rasuna Said Kuningan. Ia mengantar istrinya yang tengah hamil delapan bulan untuk mengecek kehamilan di rumah sakit di kawasan Manggarai.
Saat melintas di depan Gedung Plaza 89 dengan motornya, tiba-tiba Iwan dan istri terpelanting ke arah trotoar. Saat itu bom dari mobil boks meledak di depan Kedutaan Besar Australia.
Iwan panik menyelamatkan istrinya yang sedang hamil tua. Ia berniat untuk menuju rumah sakit terdekat, RS MMC, di kawasan Kuningan. Namun, menyadari mahalnya biaya di sana, Iwan mengurungkan niat. Ia kembali ke motornya, tetapi mesin tidak bisa menyala.
“Saat itu saya berkata dalam hati ‘Ya Allah kalau Engkau sayang beri hamba kesempatan untuk hidup dan kesempatan untuk menjaga amanat, istri dan anak saya di kandungan’, dengan kalimat takbir ‘Allahu Akbar’ motor saya nyala,” tutur Iwan saat mengutarakan pengalamannya pada acara pelatihan media tentang terorisme, di Jakarta, kemarin.
Ketika kembali mengendarai motor, tiba-tiba pandangan Iwan kabur. Ia dan istri terjatuh. Seseorang menghampiri dan membawa mereka ke rumah sakit mata Aini Kuningan. Saat itu istrinya terlihat baik-baik saja.
Sang istri lalu dibawa ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan karena tengah kontraksi. Keesokan harinya ia mendengar kabar bahagia, anak keduanya bernama Rizki Nur Hidayat atau Bombom telah lahir. Akan tetapi, di hari yang sama, ia mendapat kenyataan pahit dari dokter bahwa bola mata kanannya yang terkena serpihan bom tidak dapat diselamatkan.
Dua tahun setelah kejadian bom, istri Iwan meninggal dunia. Meski saat kejadian bom terlihat baik-baik saja, istrinya mendapatkan luka di kepala, telinga, dan tulang belakang akibat kejadian tersebut.
Tidak hanya itu, Iwan kehilangan pekerjaannya sebagai pekerja bank. Ia mencoba melamar di berbagai tempat, tetapi tidak mendapat respons positif. Akhirnya, Iwan membuka usaha komputer bernama Bombom Computer di kawasan Pondok Cina Depok.
Berbeda dengan Iwan, Sri Hesti kehilangan anaknya yang berprofesi sebagai satpam. Rudi, anaknya, merupakan korban dari bom Hotel JW Marriot 2003. Anaknya yang saat itu masih berusia sekitar 18 tahun merasa tidak enak ketika hendak berangkat bekerja. Rudi mengeluh motornya bermasalah.
Berdasarkan cerita yang ia dapat dari teman-teman Rudi, pada pukul 12.30 WIB Rudi akan berganti sif bersama tiga teman lainnya. Saat hendak makan, Rudi dipanggil karena ada mobil bak terbuka yang mencurigakan. Saat ia mengejar mobil tersebut, bom tiba-tiba meledak dari mobil bak terbuka tersebut. Rudi pun terpental.
Hingga beberapa tahun pascabom, Sri masih trauma dan enggan melewati kawasan Lingkar Mega Kuningan. Dalam menggelar acara peringatan bom pun, para korban dan keluarga memilih lokasi lain.
Meski kehilangan dan menanggung trauma mendalam, para korban terorisme memutuskan tidak memupuk dendam terhadap pelaku. Iwan dan Sri memutuskan untuk memaafkan dan berdamai dengan mereka.
Iwan mengaku mengikhlaskan kejadian yang sudah merenggut masa depannya. Ia merasa itu sudah takdir Allah sekaligus mengingatkan bahwa mata, istri, serta pekerjaan hanya titipan-Nya.
Sementara itu, Sri dalam tahun-tahun awal kehilangan anaknya merasa dendam terhadap pelaku teror. Hal itu berubah saat ia bergabung dengan Aida.
“Dulu ada rasa dendam, tetapi saya pikir sudah tua kalau dendam akan menyiksa badan sendiri. Saya berpikir yang sudah ya sudah,” kata Sri. (Erandhi H Saputra/P-1) [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Harian Media Indonesia edisi 7 April 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *