Home Berita Mantan Teroris Sumpah Setia Kepada Indonesia, Kecam Terorisme Sebagai Penyakit
Berita - 12/09/2017

Mantan Teroris Sumpah Setia Kepada Indonesia, Kecam Terorisme Sebagai Penyakit

Tenggulun, Jawa Timur: Hal pertama yang dilakukan mantan teroris Ali Fauzi Manzi saat bertemu Fairfax Media adalah meminta maaf kepada Australia dan 88 warga Australia yang menjadi korban dari bom Bali I.
Ali Fauzi dikenal baik oleh orang Australia sebagai saudara pelaku bom Bali.
Pada tahun 2008 dia mengurus pemakaman jenazah Amrozi dan Mukhlas -yang dieksekusi di pulau pemasyarakatan Nusakambangan- dan mengirim pesan teks ke kerabat dalam bahasa Arab yang mengatakan: “Mereka bersama Yang Maha Kuasa”.
“Sekali lagi, saya ingin meminta maaf atas apa yang dilakukan saudara-saudara saya,” kata Ali Fauzi kepada Fairfax Media. “Mereka telah dieksekusi atau menghabiskan hidup mereka di penjara. Tindakan mereka menghilangkan banyak nyawa.”
Ali Fauzi mempelajari pembuatan bom antara tahun 2004 hingga 2007 dan dipenjara karena pelanggaran terorisme di Filipina, di mana dia telah membantu membangun sebuah kamp pelatihan militer untuk para ekstremis.
Sepuluh meter dari tempat dia berdiri di desa Tenggulun, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, adalah rumah milik Amrozi.
“Pemboman, di seluruh Indonesia, bisa Anda katakan berasal dari sini,” kata Ali Fauzi. “Di satu titik ada 13 ton bahan peledak di sini sebelum didistribusikan ke tempat lain seperti Ambon dan Poso.”
Lamongan, yang pernah dijuluki sebagai tempat kelahiran teroris, masih merupakan sarang ekstremisme.
Akan tetapi, Ali Fauzi berharap Yayasan Lingkar Perdamaian yang dia bentuk pada bulan November tahun lalu, yang menyediakan rumah transit dan kesempatan kerja bagi mantan teroris, dapat mulai meruntuhkan ideologi radikal.
Pada hari Kamis, beberapa mantan teroris dan kombatan beserta keluarga mereka bergabung dalam perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya sebagai indikasi komitmen baru mereka kepada Indonesia dan ideologi Pancasila yang menjunjung tinggi kebhinnekaan.
Orang-orang yang bertugas mengibarkan bendera Indonesia termasuk putra pelaku bom Bali, Amrozi, Zulia Mahendra, yang telah lama menaruh rasa ingin balas dendam serta kemarahan terhadap negara yang mengeksekusi ayahnya.
Komandan upacara tersebut adalah mantan murid komandan ISIS di Suriah, sementara Ali Fauzi bertugas membaca teks proklamasi kemerdekaan 1945.
“Janji saya ke Indonesia itu nyata,” kata Ali Fauzi. “Ikrar saya adalah mencintai bangsa. Islam menghormati agama-agama lain, bahkan jika Indonesia menjadi negara Islam itu tidak berarti akan menyingkirkan agama-agama lain. Itulah yang saya percaya sekarang.”
Ali Fauzi menggambarkan terorisme sebagai penyakit, yang membutuhkan “dokter spesialis”. “Butuh waktu tujuh tahun untuk menjadi Ali Fauzi sekarang,” katanya. Enam bulan pertama proses deradikalisasinya -suatu pendidikan “setengah paksa” yang diterapkan kepadanya oleh polisi Indonesia setelah dia dideportasi dari Filipina pada 2007 adalah “penyiksaan bagi saya”.
“Awalnya saya menolak, saya tidak bisa melepaskan keyakinan saya sendiri, saya mengeluh, saya berdebat dengan ajaran Islam yang mereka ajarkan, yang disebut Islam moderat. Setelah enam bulan saya sadar, kemarahan saya berkurang.”
Salah satu titik baliknya adalah pertemuannya dengan korban serangan teror, termasuk warga negara Belanda, Max Boon, yang kehilangan kedua kakinya dalam pemboman Hotel Marriott di Jakarta.
“Saya meminta maaf padanya, dia seorang Katolik, dia berkata kepada saya: ‘Saya sudah memaafkan pelaku, apalagi Anda’. Dia memaafkan saya. Jika ternyata terbalik, jika saya berada di posisi dia, saya pikir tidak bisa memaafkan semudah itu.”
Ali Fauzi mengatakan keyakinan lamanya keliru bahwa orang kafir harus dibunuh di mana pun mereka berada, seperti yang didengungkan kelompok teroris.
Misi Yayasan Lingkar Perdamaian adalah untuk menyediakan komunitas baru bagi mantan teroris untuk mencegah mereka kembali ke jaringan lama karena mereka tidak memiliki alternatif lain.
“Mengajak mereka bergabung dengan yayasan bukan momen abracadabra. Ini dimulai saat mereka berada di penjara, saya mengunjungi mereka, saya membantu masalah yang mereka hadapi, finansial, keluarga mereka. Begitu mereka dibebaskan, kami membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Sejauh ini kami telah membantu tujuh mantan teroris untuk mendapatkan pekerjaan dengan rekan-rekan bisnis saya. Ini perjalanan yang masih panjang.”
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, bulan lalu meresmikan sebuah masjid dan pusat pembelajaran Alquran di Tenggulun, yang akan mengajarkan Islam moderat.
“Secara nasional ada 560 mantan narapidana terorisme,” katanya kepada Fairfax Media. “Artinya anak-anak mereka, istri mereka, komunitas mereka telah terpapar radikalisme.”
Dia mengatakan bahwa Lamongan adalah episentrum terorisme namun berkat Yayasan Lingkar Perdamaian: “Ssekarang ada 37 mantan narapidana teroris yang sekarang ada di pihak kita.”
“Secara keseluruhan mereka memiliki sekitar 100 anak-anak. Bisa dibayangkan berapa banyak nyawa yang dapat kita selamatkan dengan mengambil pendekatan ini?”
Sumber: The Sydney Morning Herald, edisi 17 Agustus 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *