Home Berita Berjuang untuk Pengungsi Marawi
Berita - 07/09/2017

Berjuang untuk Pengungsi Marawi

Ketika krisis Marawi terjadi, sebagian besar warga berbondong-bondong menjauh dari kota itu dan mengungsi ke tempat aman. Sejak saat itu pula, pasangan suami-istri Alikman Ibn Nata (37) dan Fatima Aliah Nata (33) terpanggil untuk membantu para pengungsi meski harus meninggalkan anak dan perkerjaan.

Alikman dan Fatima adalah dua dari sejumlah pegiat kemanusiaan yang tergerak untuk menyalurkan bantuan kepada pengungsi dan warga yang terkena dampak krisis Marawi. Mereka berdua menggalang bantuan dari para donator dan organisasi nonpemerintah.

“Kami hanya mau mendistribusikan bantuan dalam bentuk barang. Jika ada yang mau memberikan bantuan berupa uang, kami akan menolaknya. Silakan  uang ituu dibelanjakan barang dulu baru serahkan kepada kami. Nanti kami bawa kepada mereka yang membutuhkan,” ujar Alikman, awal Juli lalu.

Krisis di Marawi, ibu kota Provinsi Lanao del Sur, Filipina selatan, terjadi saat kelompok milisi Maute yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menyerang kota itu pada 23 Mei silam. Sejak saat itu pemerintah Filipina mendeklarasikan status darurat militer.

Krisis di Merawi hingga kini masih berlangsung. Mengutip Reuters, jumlah korban tewas hampir mencapai 800 jiwa dan lebih dari 500.000 orang masih mengungsi. Pada Senin (4/9) atau memasuki hari ke 105 pertempuran di Marawi, tentara Filipina terus mengintensifkan serangan dari udara dengan memuntahkan tembakan dan bom ke daerah pertahanan Kelompok Maute.

Sejak status darurat militer dideklarasikan pada 23 Mei silam, pertempuran di Marawi terus menelan korban jiwa.

Alikman dan Fatima adalah warga Muslim yang tinggal di kota Illigan, berjarak 38 kilometer dari Marawi. Mereka berdua aktif sebagai pegiat kemanusiaan. Alikman tergabung dengan Youth Muslim of Maranao, sedangkan Fatima aktif  di organisasi Mother of Peace.

Alikman memiliki sebuah bengkel otomotif. Sementara Fatima adalah guru sekolah menengah atas di Marawi. Begitu konflik Marawi meletus, Alikman dan Fatima menitipkan tujuh anak mereka kepada orangtua dan kakak di Palawan, kota yang berbeda pulau dengan Iligan. “Banyak orang yang membutuhkan kami dalam situasi seperti ini,” ucap Fatima.

Alikman juga terpaksa menutup sementara bengkelnya. Pasangan suami-istri ini tak kenal lelah untuk menghubungi kolega dan teman-teman di organisasi kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan. Sebagian orang yang sudah kenal dengan sepak terjang mereka bahkan menghubungi mereka lebih dulu.

Tanpa Pamrih

Alikman dan Fatima membawa bantuan dengan mobil jenis truk kabin ganda milik mereka. “Jika ada donatur yang memberikan uang untuk membelikan bahan bakar kendaraan, akan kami terima. Namun, jika tidak ada, kami tetap akan menyalurkan bantuan itu. Kami beli bahan bakar dengan uang kami sendiri,” ucap Alikman.

Siang itu, mereka hendak menembus masuk ke kota Marawi untuk memberi bantuan kepada warga yang masih bertahan. Namun, upaya mereka kandas karena dilarang tentara penjaga di pos pemeriksaan.

Mereka juga bertolak ke Barangay Tongkopan di wilayah Pantao Ragat yang berbatasan dengan Marawi. Mereka menghampiri lebih dari 100 pengungsi asal Marawi yang menumpang di rumah kerabat. Para pengungsi itu belum terjamah bantuan sama sekali.

Mereka membawakan obat-obatan, sandal, dan keperluan bayi untuk para pengungsi. “Selama kami mengunsi baru kali ini ada yang membawakan kami bantuan,” kata Solaiman (50), seorang pengungsi.

Hal ini mempertegas pengamatan Alikman bahwa banyak tempat pengungsian yang tidak terdata dan tidak terjangkau bantuan pemerintah dan organisasi kemanusiaan.

Alikman dan Fatima juga menyerahkan boneka biru Teddy Bear kepada seorang anak perempuan berusia empat tahun, Princess Juhaina. Boneka yang diberikan oleh seorang anak perempuan bernama Chrisna di kota Davao, Mindanao, ini dititipkan kepada Fatima untuk diserahkan kepada anak pengungsi yang membutuhkan.

“Boneka itu diberikan oleh seorang anak Katolik di Davao dan boneka itu adalah kesayangannya. Dia ingin anak pengungsi yang kebanyakan Muslim mendapatkan boneka itu karena dianggap lebih membutuhkan. Ini yang membuktikan bahwa solidartas kemanusiaan tidak mengenal perbedaan agama dan suku,” tutur Fatima.

Para pengungsi di Tongkopan, wilayah Pantao Ragat, meninggalkan rumah mereka di Marawi pada awal konflik meletus. Saat rentetan tembakan terdengar, mereka masih bertahan di rumah. Namun ketika bom-bom dari pesawat tempur mulai dijatuhkan mereka bergegas mengungsi. Ada yang menaiki mobil ramai-ramai dan ada juga yang berjalan kaki hingga ke Pantao Ragat.

“Mereka salah satu warga yang pertama kali meninggalkan Marawi,” kata Alikman.

Keesokan harinya, Alikman dan Fatima kembali menggalang bantuan dari sejumlah donator dan organisasi kemanusiaan yang berbasis di Iligan. Mereka membawa berkarung-karung kebutuhan pokok dan kebutuhan bayi untuk dibagikan kepada warga di wilayah Ditsaan-Ramain yang terisolasi akibat konflik Marawi.

Kemanusiaan

Setelah pulang dari Ramain, Fatima mengungkapkan kesedihannya. “Warga di sana kelaparan karena tidak memperoleh makanan. Jika pemerintah abai dengan kondisi ini, mereka berencana gabung dengan kelompok Maute yang bisa member mereka uang,” ucap Fatima.

Alikman dan Fatima mengecam keras serangan kelompok Maute yang berafiliasi dengan NIIS.

Yang mendorong mereka untuk menolong para pengungsi dan warga Marawi adalah rasa kemanusiaan. Mereka merasa sedih dengan kondisi warga yang terlunta-lunta dan kelaparan akibat krisis yang menerpa Marawi. Bagi mereka, krisis yang terjadi juga akibat manifestasi dari politik kekuasaan dan uang selain karena pengaruh terorisme.

Krisis terjadi bukan dipicu persoalan agama. Hal ini ditegaskan dengan banyaknya bantuan yang mereka salurkan ternyata berasal dari donatur yang memiliki keyakinan berbeda dengan pengungsi Marawi.

 

Oleh

Harry Susilo/B Josie

Susilo Hardianto

 

*Artikel ini pernah dimuat di harian Kompas edisi 6 September 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *