Merajut Perdamaian dari Lapas
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkumham) melaksanakan kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan Wilayah Sulawesi di Hotel Santika Makassar, pada 11-12 Juli 2017.
Kegiatan dibuka langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sulawesi Selatan, Sahabuddin Kilkoda. Dalam kesempatan tersebut ia membacakan sambutan dari Dirjen Pemasyarakatan, I Wayan Kusmiantha Dusak, yang berhalangan hadir. Dalam sambutannya, Dirjen Pas mengapresiasi kegiatan AIDA karena menawarkan pendekatan baru dalam sistem pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Secara pribadi, Sahabuddin menyambut baik kegiatan ini dilaksanakan di wilayah kerjanya.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat perspektif korban di kalangan petugas Lapas. Para petugas setelah bertemu dan menyaksikan sendiri dampak terorisme dalam diri korban, maka dapat menyampaikan kisah-kisah korban saat berdialog dengan WBP. “Kisah korban diharapkan dapat memancing empati dan pikiran kritis WBP terhadap ideologi kekerasan yang diyakininya sebagai kebenaran,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut hadir tiga orang korban bom, salah satunya Joshua Ramos (korban Bom Kuningan 2004). Joshua Ramos mengisahkan, saat peristiwa bom terjadi, dia sedang berjaga di bagian dalam pagar gedung Kedubes Australia. Ia terlempar beberapa meter dari tempatnya berdiri ketika ledakan. Saat kesadarannya pulih, ia menolong rekannya yang mengalami cedera parah dan mengantarkannya ke rumah sakit terdekat. Saat tiba di rumah sakit, ia merasa kakinya tak bisa digerakkan lagi.
“Ternyata ada logam yang masuk ke dalam tempurung lutut. Setelah menjalani operasi, saya diperbolehkan pulang. Saat itu rawat inap diprioritaskan bagi korban yang terluka parah,” katanya.
Dalam proses rawat jalan, ditemukan sejumlah cedera lain yang mengharuskan Joshua harus menjalani pengobatan terus-menerus hingga sekarang. Secara psikis, Joshua sempat terguncang. Sebab saat tragedi itu terjadi, ia belum lama memeluk agama Islam. Sementara pelaku terornya adalah juga seorang muslim yang mengatasnamakan aksinya sebagai perjuangan agama. Ia sempat berpikir, apakah keputusannya memeluk Islam adalah kesalahan.
Ia juga sempat bertemu dengan salah seorang tetangganya yang justru menghinanya. Joshua dinilai layak menjadi korban lantaran bekerja di tempat orang kafir. “Setelah saya melakukan perenungan, saya memutuskan tetap menjadi muslim dan bekerja di Kedubes Australia hingga sekarang,” katanya.
Salah satu Peserta dari Lapas Maros merasa bersyukur telah mendapatkan ilmu menangani WBP kasus terorisme dari kegiatan yang diselenggarakan AIDA. Hingga saat kegiatan digelar, Lapas Maros belum pernah membina WBP terorisme. Ia juga mengaku sangat tersentuh dengan kisah korban. “Kami akan sampaikan kisah korban ini saat ngobrol dengan napi terorisme,” kata dia. [MSY]