Home Berita Sinergi Nasional untuk Tuntaskan Radikalisme
Berita - 30/10/2017

Sinergi Nasional untuk Tuntaskan Radikalisme

Pelajar membentang spanduk tolak radikalisme dan terorisme saat Deklarasi dan Komitmen Bersama Menolak Radikalisme dan Terorisme, di Semarang, Jateng, beberapa waktu lalu—ANTARA/R. Rekotomo

 

KELOMPOK radikal yang berusaha menyebarkan paham radikalisme harus diselesaikan pemerintah dengan melibatkan seluruh kekuatan nasional. Prinsipnya, paham sesat yang merupakan embrio terorisme itu tidak boleh berkembang hingga merusak pikiran masyarakat.

Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengatakan upaya untuk menangkal terorisme dan radikalisme memerlukan sinergi yang terorganisasi. Saat ini pemerintah pun telah melakukannya melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

“Bahkan, upaya itu harus pula melibatkan para pemimpin nonformal di daerah-daerah, seperti tingkat RT dan RW, untuk melakukan pengawasan di lingkungan masing-masing,” ujar TB Hasanuddin.

Para pemimpin nonformal di daerah juga perlu diberi pemahaman agar responsif melaporkan berbagai temuan di wilayahnya terutama ketika melihat hal-hal yang mencurigakan. Koordinasi dengan aparat keamanan setempat pun penting untuk memudahkan komunikasi.

“Kemudian di level atas juga diperlukan semacam koordinasi yang terus-menerus sehingga ruang gerak teroris menjadi lebih sempit. Harus dipahami bahwa terorisme itu berasal dari kelompok-kelompok radikal,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida) Hasibullah Satrawi. Menurutnya, terorisme dan radikalisme merupakan persoalan kompleks yang memiliki banyak dimensi. Oleh karena itu, cara penanganannya harus dengan kerja bersama yang tentunya mempunyai banyak kemampuan dan otoritas.

Dengan demikian, sangat tepat jika pemerintah ke depannya bisa menggunakan berbagai macam potensi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Penuntasan kasus terorisme dan radikalisme bukan dilakukan hingga ke akar-akarnya, melainkan wajib dimulai dari akar-akarnya.

“Artinya di situ kita menginginkan adanya sebuah pengetahuan yang bukan single factor. Bukan semata-mata menyasar persoalan ideologi, politik, dan ekonomi saja. Di sini banyak faktor yang menjadi sebuah adonan dan kita sebut sebagai terorisme.”

Menurutnya, apabila pemerintah telah memastikan persoalan itu berlatar ideologi, kebijakan yang pantas diterapkan ialah dengan pendekatan berbasis ideologi. Begitu pula jika kasus tersebut dianggap bermuara dari konflik ataupun hal ekonomi yang terjadi tengah masyarakat.

“Di seberang sana kita tahu negara punya banyak kemampuan dan otoritas sehingga negara harus bisa mendesain seluruh kebijakan itu untuk dapat menyentuh persoalan terorisme sesuai dengan akar masing-masing,” ujarnya.

Peran korban

Hasibullah memandang mindset penyelesaian persoalan terorisme dan radikalisme yang menggunakan desain tersebut sangat strategis. Apalagi, Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius pernah mengatakan bakal mengedepankan pendekatan humanistis melalui keluarga korban dan mantan pelaku secara kombinatif.

“Karena melalui korban minimal kita bisa membendung suplai regenerasi dan menyampaikannya ke publik. Ini penting. Berbicara teroris itu bukan hanya tentang mereka yang sudah terpapar, melainkan juga bagaimana memastikan orang yang belum terpapar tidak akan terpapar,” terang dia.

Menurut Hasibullah, semua potensi yang dimiliki negara dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hal itu pula yang bakal menjadi distorsi bagi pemerintah karena penyelesaian terbaik bukan mengandalkan satu pendekatan saja. (Gol/P-2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *