Buku “Jangan Putus Asa: Ibroh dari Kehidupan Teroris & Korbannya”. (GATRA/Hidayat Adiningrat/FT02
Home Berita Pendekatan Kisah Menuju Perdamaian Mantan Pelaku dan Korban Teror
Berita - 06/03/2018

Pendekatan Kisah Menuju Perdamaian Mantan Pelaku dan Korban Teror

Buku “Jangan Putus Asa: Ibroh dari Kehidupan Teroris & Korbannya”. (GATRA/Hidayat Adiningrat/FT02

 

Jakarta – Beragam kisah selalu muncul dalam kitab suci. Kitab suci berbagai agama kerap mencantumkan kisah-kisah di dalamnya, bukan hanya larangan dan anjuran. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia pun, pendekatan kisah menjadi salah satu ciri kebudayaan yang mengakar kuat. Keunggulan pendekatan kisah dibanding pendekatan lain adalah adanya kemampuan mendekatkan hubungan komunikator dengan pendengar.

Hal itulah yang mendasari Hasibullah Satrawi menulis buku berjudul “Jangan Putus Asa: Ibroh dari Kehidupan Teroris & Korbannya”. Buku yang diluncurkan di Hotel Akmani, Jakarta Pusat (24/2/2018) tersebut menuturkan banyak kisah kehidupan korban-korban aksi terorisme dan mantan pelaku teror. “Kenapa berisi kisah? Karena dengan tidak adanya jarak antara keduanya, empati dan simpati akan lebih mudah terbangun,” ucap Hasbullah.

Acara peluncurkan buku menghadirkan pembicara yaitu mantan teroris Ali fauzi Manzi, keluarga korban Bom Bali I Ni luh Erniati, guru besar UIN Prof. Azyumardi Azra, CBE dan Redaktur Pelaksana Harian Kompas Mohammad Bakir.

Ni luh Erniati menceritakan kisahnya ketika kehilangan suami akibat Bom Bali I pada 2012. Suami Erni bekerja sebagai kepala pelayan di Sari Club yang adalah lokasi kejadian bom. Saat itu, usia kedua putranya 9 dan 1.5 tahun.

Erni mengisahkan pengalamannya dengan perlahan. Sesekali ia menunda ceritanya. Mendengar kisah itu, beberapa peserta terlihat menundukan kepalanya. Seorang pria, yang juga salah satu dari keluarga korban, menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Saat ini, Erni bersama AIDA ke sekolah-sekolah untuk menceritakan kisah yang inspiratif dan memotivasi.

“Saya ceritakan kisah saya bukan mencari dikasihani tapi bagaimana cerita saya bisa motivasi anak-anak sekolah agar tumbuh rasa kasih sayang sehingga tercapai perdamaian. Kekerasan tidak harus dibalas kekerasan. Kebencian juga. Kemarahan bisa dibalas kasih sayang,” kata Erni.

Dalam buku tersebut juga tercantum kisah korban bernama Didik Hariyono. Pada wawancara yang dilakukan dengan Majalah Gatra beberapa waktu yang lalu, Didik bercerita, dia seharusnya tak masuk kerja pada Selasa 5 Agustus 2003 itu. Ia terserang alergi cukup parah hingga dokter menyuruhnya istirahat dua hari.

Namun karena merasa tidak betah, ia memutuskan untuk masuk kantornya di PT SHIELDS Indonesia yang terletak di Menara Rajawali, kawasan Mega Kuningan. Dalam perjalanan kembali ke kantor, usai makan siang, Didik melihat sebuah Toyota Kijang sedang dihentikan satpam di depan gedung Hotel JW Marriott.

Hanya berselang detik, mobil itu kemudian meledak, membakar, dan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Termasuk tubuh Didik, yang terbakar, kemudian melayang, dan terempas dengan keras di sekitar Plasa Mutiara.

Namun, Didik mencoba untuk tidak menyerah. Keinginan untuk cepat sembuh itu pula yang membuat dia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Setahun terbaring di rumah sakit dengan tubuh mengalami kerusakan yang cukup parah membuatnya kehilangan beberapa kemampuan dasarnya.

Kisah-kisah semacam itulah yang dimunculkan Hasibullah dalam bukunya ini. Dengan memunculkan kisah para korban, dia berharap kedamaian antara korban dan mantan pelaku terorisme bisa terjalin. “Lebih jauh lagi, saya berharap dengan membaca kisah ini tidak akan ada lagi aksi-aksi terorisme di negara ini,” kata Hasbullah.


Reporter : Hidayat Adhiningrat P

editor : Bernadetta Febriana

 

 

 

*Artikel ini pernah dimuat di Gatra.com 24 Februari 2018.