Memaafkan untuk Syiar Perdamaian

“Cobaan yang Bapak alami begitu berat, apakah di hati Bapak ada rasa dendam terhadap pelaku pengeboman,” tanya seorang siswa kepada Iwan Setiawan dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 4 Pandeglang, Banten pertengahan April lalu.
Iwan ialah penyintas aksi teror bom di Kedutaan Besar Australia kawasan Kuningan Jakarta Selatan, 9 September 2004. Kendati mengalami berbagai penderitaan akibat ledakan bom, dia mengaku tak mendendam pelaku. Dia justru memaafkan dan mendoakan orang-orang yang terjerat paham kekerasan agar kembali ke jalan perdamaian.
Dia menceritakan pengalamannya saat difasilitasi oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk bertemu dengan salah seorang pelaku Bom Kuningan 2004 di sebuah lembaga pemasyarakatan beberapa waktu lalu. “Saat itu saya berdoa semoga pelaku selalu sehat dan bisa syiar ke rekan-rekan yang lain untuk kembali ke jalan yang benar atau jalan perdamaian agar tidak ada lagi aksi teror,” ujarnya.
Pria asal Brebes, Jawa Tengah ini telah ikhlas menerima musibah yang menimpa diri dan istrinya tiga belas tahun silam. Akibat ledakan bom indra penglihatan sisi kanannya hilang. Bom juga menyebabkan istrinya menderita luka dalam hingga menyebabkan meninggal dunia dua tahun pascaperistiwa. Ia meyakini apa yang menimpanya sudah menjadi suratan takdir. Dia mengatakan segala yang dimiliki manusia sejatinya adalah milik Tuhan sehingga manusia harus ikhlas bila Sang Pemilik mengambil yang dimiliki-Nya.
Ketegaran yang sama ditunjukkan penyintas Bom JW Marriott 2003, Didik Hariyono. Di hadapan puluhan siswa SMAN 17 dan SMK Budi Utama Pandeglang, ia mengaku telah mengikhlaskan ketentuan Sang Pencipta, yaitu mengalami musibah ledakan bom. Pasrah dan sabar menjadi kunci utama baginya dalam menghadapi segala cobaan kehidupan.
”Saya juga sudah memaafkan perbuatan para pelaku. Bagi saya dengan memaafkan insyaallah kehidupan saya ke depan akan lebih baik dan bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan keluarga. Dengan memaafkan juga bisa menumbuhkan perdamaian di lingkungan kita,” tuturnya.
Akibat bom yang meledak di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003, tubuh Didik mengalami luka bakar mencapai 70 persen dan patah tulang di bagian tangan dan kaki kanannya. Cedera parah akibat ledakan bom itu memaksanya menjalani perawatan intensif selama sebelas bulan.
Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” adalah rangkaian safari kampanye perdamaian AIDA di Kabupaten Pandeglang, Banten. Kegiatan tersebut diselenggarakan di lima sekolah yaitu SMAN 3, SMAN 4, SMAN 17, SMKN 4, dan SMK Budi Utama. Tak hanya penyintas yang berbagi kisah dalam Dialog Interaktif. Iswanto, mantan anggota kelompok teror turut menceritakan pengalaman masa lalunya bergelut dalam dunia kekerasan hingga akhirnya memutuskan keluar dan kembali ke jalan perdamaian.
Iswanto mengatakan organisasi yang diikutinya dahulu melakukan pengeboman di sejumlah tempat sebagai bentuk aksi balas dendam atas penindasan terhadap umat muslim di berbagai tempat. “Saya tegaskan jangan membalas ketidakadilan dengan ketidakdilan karena tidak akan menyelesaikan masalah tapi justru menimbulkan masalah lagi,” tandasnya kepada para siswa peserta Dialog Interaktif.
Ayah tiga anak ini mengungkapkan dirinya bertekad keluar dari jaringan prokekerasan lantaran anjuran guru dan didukung penuh oleh keluarganya. Pertemuan dengan penyintas terorisme, dia menambahkan, juga memberi pengaruh signifikan terhadapnya. “Saya bertemu langsung dengan teman-teman korban bom, saya mendengar langsung ceritanya dan berdialog langsung dengan mereka. Itulah yang memperkuat saya untuk keluar dari jaringan kelompok kekerasan,” kata dia.
Mantan anggota kelompok teror lainnya, Kurnia Widodo, mengungkapkan hal serupa. Di depan para siswa SMAN 3 dan SMK Budi Utama ia menceritakan salah satu faktor yang mendorong dirinya meninggalkan kelompok masa lalunya adalah interaksinya dengan penyintas. “Di antara faktor yang mendorong saya untuk kembali ke jalan damai adalah setelah melihat dampak kekerasan yang dialami para penyintas. Setelah bertemu penyintas bom, saya timbul rasa empati dan menyesali semua tindak kekerasan masa lalu,” ucapnya.
Seorang siswa SMAN 3 mengatakan kegiatan Dialog Interaktif di sekolahnya telah mengajarkan betapa pentingnya perdamaian dalam kehidupan yang bhinneka. Ia tidak setuju bila ajaran jihad dalam Islam diartikan untuk melukai atau membunuh orang lain. “Jihad yang salah bisa merugikan dan mencoreng citra Islam,” tandasnya.
Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” diselenggarakan untuk menanamkan semangat perdamaian di kalangan pelajar Indonesia. Setelah mengikuti kegiatan diharapkan peserta memahami makna ketangguhan yang sebenarnya, yaitu pantang menyerah menghadapi cobaan, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan lainnya, dan mampu memperbaiki kesalahan masa lalu dengan berbagai kebajikan. [SWD, AS]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIII Juli 2017.