Memaafkan Lebih Utama daripada Mendendam

“Saya dulu berprinsip bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, karena itu ada hukumnya di Islam, yaitu kisas. Setelah mengikuti acara ini saya jadi tahu bahwa ada ayat lain yang lebih baik daripada membalas, yaitu memaafkan.”
Demikian testimoni salah satu siswa SMA Muhammadiyah 1 Weleri setelah mengikuti Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Kendal dan Semarang pertengahan Oktober lalu. Selain di sekolah tersebut Dialog Interaktif juga digelar di empat sekolah lain, yaitu SMAN 3 Semarang, MA Uswatun Hasanah Semarang, SMAN 1 Weleri, dan SMAN 1 Kendal.
Kegiatan tersebut dimaksudkan agar generasi muda dapat memahami pentingnya memiliki jiwa ketangguhan dan semangat cinta damai.AIDA menghadirkan Tim Perdamaian yang terdiri atas penyintas dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi untuk berbagi pengalaman kepada para pelajar.
Dalam kegiatan di Kendal dan Semarang anggota Tim Perdamaian terdiri atas Nanda Olivia Daniel (penyintas aksi teror Bom Kuningan 2004), I Gusti Ngurah Anom (penyintas Bom Bali 2002), dan Iswanto, mantan anggota kelompok teroris.
Dalam kegiatan di SMAN 3 Semarang, Nanda mengisahkan pengalamannya saat terdampak ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004. Dia sedang di dalam bus kota ketika teror terjadi. Guncangan dan hempasan kuat dari ledakan bom menyebabkan kerusakan di gendang telinga dan jari-jari tangannya.
Nanda menceritakan sewaktu di dalam bus kota ada seorang siswa SMA yang berdiri di belakangnya. Secara tidak langsung dia terhalang dari efek ledakan bom yang lebih parah.Dia merasa berhutang pada sosok pelajar yang telah “melindunginya” sebelum akhirnya dikabarkan meninggal dunia.“Saya selalu berpikir jika telat sekian detik saja, saya yang meninggal, bukan anak SMA itu,” ujarnya.
Operasi pengobatan hingga 8 kali dan masa pemulihan dia rasakan sangat menyakitkan.Namun, dia tidak menyerah dan terus bersemangat melanjutkan hidup.Dia bahkan mampu memaafkan kesalahan orang-orang yang pernah terlibat terorisme.
“Tidak ada gunanya juga membalas kekerasan dengan kekerasan.Setelah itu suasana hati saya menjadi ringan,” ujarnya mengenang saat pertama kali bertemu mantan pelaku.
Ngurah Anom, penyintas Bom Bali 2002, juga berbagi kisah dalam Dialog Interaktif. Saat kejadian dia hanya sekadar lewat di Jalan Legian dan berhenti sejenak untuk membeli air mineral di sebuah warung. Akibat ledakan, dia mengalami luka-luka.Badannya teguncang sampai goyah, kulit bagian pelipisnya terkelupas, pendengaran salah satu telinganya terganggu, dan salah satu bola matanya tertancap serpihan kaca.Setelah dilakukan operasi, penglihatannya tidak terselamatkan.
“Musibah datang tidak bisa disangka-sangka, ambillah hikmahnya. Tetaplah semangat dan terus belajar menjadi generasi tangguh.Jika punya masalah jangan sampai membalas dengan kekerasan, memaafkan lebih baik.Saya juga begitu, sebagai korban bom, apabila pelakunya mau meminta maaf kepada saya, saya akan memaafkannya.”Demikian Anom berpesan kepada para siswa peserta Dialog Interaktif.
Dari sisi mantan pelaku, Iswanto men-ceritakan liku-liku kehidupannya mulai saat bergabung dengan kelompok teroris hingga akhirnya dia berbalik dari dunia kekerasan untuk menyebarkan perdamaian.“Setelah banyak belajar akhirnya saya berpikir ulang tentang jalan kekerasan yang pernah saya jalani.Saya juga menjadi semakin yakin setelah dipertemukan dengan korban bom oleh AIDA,” kata dia.
Para siswa mengaku mendapatkan pelajaran baru tentang bagaimana menjadi generasi tangguh dalam menjalani hidup ke depannya.Salah satu siswa SMAN 3 Semarang mengaku terinspirasi dari Tim Perdamaian. “Dari kisah mantan pelaku saya belajar bahwa orang yang tangguh adalah orang yang mau mengakui kesalahannya dan mau mengubah perilakunya ke masa depan menjadi lebih baik. Kalau dari korban, meski dia kehilangan aset yang berharga namun dia berhasil membangun kepercayaan dirinya lagi, dia memaafkan kesalahan orang lain, mengikhlaskan yang telah terjadi dan menyerahkan segalanya pada Allah,” ucapnya. [AM]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XV Januari 2018.