Kekerasan Bukanlah Jalan Terbaik

Tragedi Bom Bali I terjadi pada 12 Oktober 2002. Peristiwa ini merupakan aksi terorisme terbesar yang pernah terjadi di Indonesia sampai saat ini. Ledakan bom tersebut bukan hanya sempat mengguncang Indonesia tapi juga menjadi sorotan dunia internasional. Di balik itu semua tentunya kejadian itu meninggalkan luka dan duka yang mendalam bagi para korban.
Supriyo Laksono, akrab dipanggil Sony, merupakan salah satu korban aksi teror Bom Bali 2002. Dari kejadian itu dia mengalami luka ringan di kepala akibat kejatuhan asbes, atap di hotel tempatnya bekerja. Yang paling membuatnya sedih adalah ketika tragedi itu merenggut nyawa istri sekaligus ibu dari anak-anaknya, yaitu alm. Lilis Puspita.
Sony sangat tidak menyangka istrinya meninggal dunia terkena ledakan bom. Saat kejadian, Lilis sedang dalam perjalanan hendak menjemput Sony. Nahas, ketika melaju di Jalan Legian ledakan sangat besar menyambar. Ledakan itu merusak dan membakar apa saja yang ada di dekatnya, baik benda maupun manusia. Sony sangat terpukul ketika mendapati jenazah almarhum istrinya hanya tersisa potongan-potongan kecil, tidak utuh lagi.
Jiwa Sony sempat terpukul akibat teror Bom Bali, seakan-akan tak sanggup untuk menghadapi musibah. Dia semakin sedih melihat dampak psikologis yang terjadi pada diri anak-anaknya. Putra dan putrinya yang semestinya tumbuh dengan bahagia dalam kasih sayang dan pelukan kedua orang tuanya harus menerima kenyataan bahwa ibundanya telah tiada. Sony merasakan buah hatinya tidak hanya terpukul mengetahui ibunya telah meninggal dunia, tetapi juga sedih melihat ayahnya begitu patah semangat. Padahal sosok ayah menjadi harapan terakhir mereka untuk memberikan kasih sayang penuh.
Hingga suatu waktu akhirnya seorang kakak menyadarkan Sony. Dia menarik tangan Sony untuk melihat anak-anaknya ketika sedang tertidur seraya berkata, “Lihat anakmu tidur, kamu ndak kasihan? Mereka sudah kehilangan ibunya. Kamu mau tambah lagi mereka kehilangan bapaknya?” Dari momen itu Sony merenungkan nasihat kakaknya.
Dia pun mencoba bangkit dari keterpurukan dan mencoba menjadi ayah sekaligus ibu yang baik bagi dua buah hatinya. Akan tetapi, dia menyadari betapa pun kerasnya ia mencoba, posisinya tentu tidak dapat menggantikan kasih sayang seorang ibu. Ia pun harus berkonsultasi kepada ibu-ibu lain untuk menanyakan hal apa yang sekiranya baik terkait perkembangan anaknya.
Usaha apa pun ia tempuh untuk keberlangsungan hidup anaknya dengan kasih sayang penuh yang ia curahkan. Hanya kasih sayang itulah yang dapat ia limpahkan kepada anak-anaknya. Bayangkan betapa sulitnya seorang ayah yang mati-matian bekerja sebagai tulang punggung keluarga, harus berusaha pula menjadi seorang ibu untuk anak-anaknya. Begitu pula sebaliknya untuk para korban perempuan yang harus kehilangan suami sebagai tulang punggung keluarganya.
Meskipun sangat sedih Sony menganggap kejadian Bom Bali sebagai cobaan yang ditimpakan Tuhan untuknya dan anak-anaknya. Aksi kekerasan itu sangat keji dan sangat bertentangan dengan ajaran agama mana pun.
Dia mengaku keinginan untuk membalas dendam kepada pelaku pernah tebersit di pikiran. Dia bersyukur sebelum dendamnya tersampaikan dia sudah tersadarkan bahwa kekerasan bukanlah jalan terbaik. Banyak pihak telah mendorongnya untuk mengurungkan niat membalas dendam kepada pelaku kekerasan. Di antaranya adalah dari Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Bali.
Beberapa waktu setelah Bom Bali berlalu dia bersama korban-korban lainnya mendirikan Yayasan Isana Dewata, perkumpulan para korban dan keluarga korban aksi teror Bom Bali. Dalam perkumpulan itu para korban saling menguatkan semangat untuk tidak putus asa menghadapi tantangan kehidupan. Dia juga turut membidani berdirinya Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) yang menjadi wadah perkumpulan komunitas korban aksi teror yang terjadi di Indonesia, termasuk para korban Bom JW Marriott 2003, Bom Kuningan 2004, dan Bom Thamrin 2016. YPI menjalin kerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk mengampanyekan perdamaian.
Sony pun aktif mengikuti program-program untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat luas bersama AIDA. Dalam satu kegiatan AIDA dia dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme yang telah meninggalkan dunia kekerasan. Setelah melalui proses akhirnya terbentuk rekonsiliasi antara Sony dengan mantan pelaku terorisme. Dia mengendapkan nafsu amarahnya terhadap mantan pelaku dan memilih untuk memaafkan.
“Kekerasan tidak perlu dibalas dengan kekerasan,” kata dia. Dia mengaku dengan memaafkan batinnya menjadi semakin tenang, tidak terbebani rasa benci. Di akhir setiap kesempatan kampanye perdamaian bersama AIDA, ia selalu menyelipkan pesan perdamaian. “Kekerasan bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Jagalah bangsa Indonesia yang ramah, tamah, dan gotong royong. Dan, jagalah toleransi antarumat beragama dan mari kita hidup dengan rukun,” ujarnya. [MSZ]