Korban Bom Thamrin Mengubah Dendam Menjadi Ikhlas
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Ledakan bom di sebuah kedai kopi di Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat yang terjadi pada 14 Januari 2016, menyebabkan luka di sejumlah bagian tubuh Hairil Islami. Luka sobek cukup lebar dan patah tulang di bagian tangan, beberapa sayatan pecahan kaca di punggung, kerusakan gendang telinga, serta trauma adalah di antara derita yang harus ia alami akibat Bom Thamrin. Tak hanya operasi dan perawatan intensif di rumah sakit, masa pengobatan selama berbulan-bulan harus ia jalani untuk memulihkan kondisi kesehatan.
Hairil menceritakan kisahnya itu kepada AIDA di sela-sela acara Peringatan Tiga Tahun Bom Thamrin di Jakarta, Minggu (13/1/2019). Ia mengaku kondisinya sudah membaik, namun hingga kini -tiga tahun setelah tragedi Bom Thamrin berlalu- masih ada obat yang harus ia konsumsi untuk pemulihan.
Di balik semua penderitaan yang harus ia tanggung akibat Bom Thamrin, Hairil mengaku tidak menaruh dendam kepada pelaku serangan teror. Ia telah mengubur segala rasa dendam di hati, mengubahnya menjadi keikhlasan. Ia sadar betul ledakan bom yang mengenainya merupakan takdir yang tidak bisa dihindari. “Sebagai anak muda, awalnya saya menaruh dendam kepada pelakunya, saya ingin membalas perbuatan si pelaku. Namun, saya sadar bahwa semua ini adalah takdir Allah Swt. Saya menerima takdir ini,” ujar pemuda yang akrab disapa Eril itu.
Pada saat kejadian, Eril baru saja selesai mengerjakan tugas kuliah di sebuah gerai kopi waralaba terkenal yang terletak di sisi timur Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat, tepatnya di area perkantoran Skyline Building. Ia tidak menyangka akan terjadi ledakan dahsyat yang memakan korban jiwa. Ia memperkirakan sumber ledakan berada sekitar lima meter di belakang tempatnya duduk. Boom. Seketika ledakan mengejutkan orang-orang yang berada di sekitar lokasi.
Eril mengaku tidak yakin mengenai apa yang menyebabkan ledakan itu sebelum akhirnya banyak orang histeris, “Ada bom.” Secara reflektif ia berlari menjauhi titik ledakan untuk menyelamatkan diri, tanpa sadar bajunya terkoyak hingga compang-camping dan daging di bagian tangannya terkelupas. Seperti halnya dirinya, ia melihat para pengunjung kedai berhamburan untuk menyelamatkan diri.

Akibat serangan Bom Thamrin, Eril dirawat sekitar satu bulan di rumah sakit. Lepas dari perawatan di rumah sakit, ia masih harus mengikuti rawat jalan. Terkait biaya pengobatan, Ia mengaku sebagian ditanggung oleh pemerintah, namun ada sebagian lain yang ia keluarkan dari kantong pribadi. Karena itu, ia merasa berterima kasih atas bantuan pemerintah untuk biaya pengobatan yang harus ia jalani. “Alhamdulillah pemerintah membantu saya dengan menanggung biaya pengobatan, tapi sebagian saya juga harus menanggung biaya itu,” tuturnya.
Eril sendiri hingga saat ini merasa bersyukur bisa selamat dari ledakan bom tersebut. Dia merasa ada hal yang tidak bisa diungkapkan di balik anugerah keselamatannya itu. Terlebih, ketika melihat korban lainnya yang mengalami luka lebih parah, bahkan beberapa orang meninggal dunia. Karena itu menurutnya, dirinya termasuk korban yang beruntung karena bisa selamat dari maut. “Saya adalah korban yang beruntung karena masih diberi kesempatan hidup. Kalau melihat para korban yang luka parah dan meninggal, saya benar-benar merasa bersyukur tidak separah korban lainnya,” katanya.
Berkat tekad dan kemauan yang kuat ia memilih bangkit dan berusaha memulai kehidupan yang baru pascatragedi, dengan mengubur rasa dendam yang pernah tebersit di dalam hati. Ia jadikan peristiwa itu sebagai pembelajaran bagi dirinya. Ia mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan dengan melakukan kampanye perdamain bersama Aliansi Indonesia Damai (AIDA) ke berbagai masyarakat. Eril tidak hanya menjadi korban yang bangkit dari keterpurukan, tetapi juga menjadi contoh bahwa generasi muda harus memiliki ketangguhan diri yang kuat.
Dalam berbagai kegiatan kampanye perdamaian AIDA, Eril berpesan kepada masyarakat agar tidak membalas kekerasan yang pernah ditimpakan orang lain dengan kekerasan pula. Sebab, sikap itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru bisa memperumit keadaan. Apabila seseorang menyimpan dendam atas perilaku buruk yang pernah orang lain lakukan, maka sama saja memperburuk keadaan dirinya sendiri dan menghambat terciptanya perdamaian. Karena itu, ia mengaku ikhlas atas semua yang terjadi dalam hidupnya. “Jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan. Saya sudah ikhlas atas semua yang terjadi,” tandasnya.
Oleh: Ahmad Hifni