Aulia Ning Ma’rifati. Photo: Dok. Pribadi
Home Inspirasi Aspirasi Damai Berdamai Dengan Hati Adalah Kunci
Aspirasi Damai - 19/02/2019

Berdamai Dengan Hati Adalah Kunci

Oleh: Aulia Ning Ma’rifati, alumnus Universitan Islam Negeri Syarif (UIN) Hidayatullah, Jakarta

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Manusia diciptakan oleh Allah Swt. dengan segala kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ia dibekali akal dan hati nurani sehingga memiliki kemampuan mencipta, berkarya, dan merasa, dan dengan segala kemampuan tersebut bisa mengelola berbagai sumber daya yang ada di bumi. Meski wujud akal dan nurani tak kasat mata, namun anugerah tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kelangsungan hidup manusia.

Dengan segala kelebihannya tersebut, tetap saja tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dalam sebuah riwayat hadis disebutkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, kealpaan dan apa-apa yang dipaksakan terhadap mereka” (HR. Ibnu Majah No. 2045).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa kodrat setiap manusia adalah tak luput dari silap dan lupa.

Manusia sebagai makhluk sosial tak bisa lepas dari interaksi atau hubungan timbal balik dengan manusia lain. Maka, dalam lingkup sosial itu setiap individu dituntut dapat menjalin kehidupan yang harmoni bersama individu-individu lainnya dalam komunitas atau masyarakat.

Aulia Ning Ma’rifati. Photo: Dok. Pribadi
Aulia Ning Ma’rifati. Photo: Dok. Pribadi

Dari sudut pandang keagamaan, manusia juga dituntut untuk bisa menjaga keseimbangan antara peribadatan vertikal kepada Tuhan (hablun minnallah), dan keharmonisan hubungan secara horizontal kepada sesama manusia (hablun minannas). Kedua hubungan tersebut berkorelasi positif. Menyeimbangkan hablun minallah dan hablun minannas, bermakna bahwa semakin mengenal Tuhan seorang manusia, maka semakin baik interaksinya dengan manusia lain.

Akan tetapi, tidak semua manusia mampu memahami trilogi interaksi manusia-Tuhan-manusia ini secara bijak. Sebagian manusia tak sadar ketika ia hidup berdampingan dengan manusia lainnya, kerap berselisih hingga mengakibatkan konflik dan perang. Bahkan, tak jarang perselisihan antarmanusia itu dilatari karena soal keyakinan kepada Tuhan.

Adu amarah antarmanusia hingga meletupkan konflik dan perang disebabkan salah satunya karena ketidakstabilan hati. Faktor kestabilan hati inilah yang perlu diperhatikan setiap manusia agar keharmonisan hidup bisa lestari.

Dalam hemat penulis, soal menjaga hati, kita dapat belajar dari ketangguhan Ni Luh Erniati, penyintas Bom Bali 2002. Meski bukan korban langsung, wanita yang akrab disapa Erni ini telah kehilangan sosok suami juga ayah bagi kedua anaknya, akibat ledakan bom di kawasan Legian, Kabupaten Badung, Bali pada malam 12 Oktober 2002. Awalnya mungkin Erni marah dan kesal kepada pelaku Bom Bali karena perbuatan keji mereka menghilangkan nyawa tulang punggung keluarganya, serta banyak korban lainnya. Tapi, seiring waktu ia sadar bahwa segala sesuatu yang telah terjadi merupakan garis takdir Tuhan.

Beberapa tahun berlalu Erni menjadi semakin kuat dan mampu berdamai dengan masa lalu. Pada 2015, ia mengikuti kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Tangerang Selatan, Banten. Dalam kegiatan tersebut ia dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme yang telah bertobat. Pihak mantan pelaku telah mengakui kekeliruan masa lalunya serta meminta maaf kepada Erni. Sebagai korban, Erni pun telah tulus memaafkan.

Meminta maaf dan saling memaafkan atau sederhananya rekonsiliasi antara korban dan mantan pelaku, muncul dari inisiatif mereka sendiri, bukan atas dorongan apalagi paksaan pihak lain. Permohonan maaf mantan pelaku terorisme adalah murni kesadaran diri dan pengakuan atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Pemaafan dari korban adalah suatu kesadaran penuh yang tidak karena terpaksa atau di bawah tekanan, melainkan sebuah ketulusan hati demi terwujudnya suatu perdamaian.

Erni berpikir bahwa jika ia membalas perbuatan pelaku, itu tidak akan membuat suaminya kembali. Kerasnya hati tidak akan mengubah takdir Tuhan yang sudah terjadi. Justru dengan memaafkan dan menanamkan kedamaian dalam hati, kata Erni, hidupnya menjadi lebih ringan dan membuatnya lebih optimis menghadapi masa depan.

Menurut hemat penulis, mengambil inspirasi dari kisah Erni, kunci utama agar keharmonisan hubungan antarmanusia terwujud adalah berdamai dengan hati. Memaafkan kesalahan orang lain bagi Erni adalah jalan terbaik bagi diri dan anak-anaknya untuk melanjutkan hidup. Erni meyakini bahwa kekerasan tidak harus dibalas dengan kekerasan. Hati yang ikhlas secara perlahan bisa menghilangkan kebencian, meringankan beban, dan membuat pikiran menjadi lebih terbuka.

Hati menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia, karena menjadi hakim dalam menentukan berbagai aktivitas. Hati yang sehat dan penuh kedamaian akan mendorong pada aktivitas-aktivitas positif dan bermanfaat. Dari hati yang berpenyakit, akan timbul sikap dan perilaku yang menyimpang dari norma-norma kebaikan dan bersifat merusak tatanan hubungan, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia.

Dalam agama, manusia diajarkan untuk mampu mengelola hati, memupuk sifat-sifat positif dan konstruktif di dalamnya, dan meredam potensi-potensi negatif yang bisa merusak. Dari kesuksesan mengatur manajemen hati, manusia akan mampu menjaga kedamaian dan keharmonisan hidup, serta menangkal potensi konflik antarmanusia. Dalam sebuah riwayat hadis, Rasulullah Saw. bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Artinya: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (HR.  Muslim No. 1599).