Memupuk Ketangguhan, Belajar dari Korban dan Mantan Pelaku
Aliansi Indonesia Damai- Setiap manusia pasti pernah memiliki pengalaman yang pahit. Pengalaman masa lalu dihadapkan kepada setiap insan agar dapat meresapi hikmah kehidupan. Ikhlas menerima takdir dan berlapang dada atas semua yang terjadi adalah sikap pribadi-pribadi yang tangguh.
Dalam rangka memupuk ketangguhan generasi muda, Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Paciran, Kabupaten Lamongan, Jumat (15/2/2019). Menurut Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, kegiatan yang rutin dilaksanakan di berbagai pelosok Tanah Air ini merupakan ikhtiar dan bentuk kesadaran anak bangsa untuk memupuk jiwa ketangguhan di kalangan pelajar. “Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat semangat ketangguhan, menjadi generasi tangguh,” jelasnya.
Kegiatan Dialog Interaktif menghadirkan penyintas aksi terorisme serta mantan pelaku yang telah meninggalkan jalan kekerasan. Dari pengalaman hidup para narasumber diharapkan siswa-siswi peserta Dialog Interaktif terpompa semangatnya untuk tumbuh menjadi generasi yang tangguh.
Salah satu narasumber, Choirul Ihwan, seorang mantan narapidana kasus terorisme, mengatakan dahulu ia berpikir bahwa kekerasan adalah tindakan yang dibenarkan, bahkan merupakan perintah agama. Ia sama sekali tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari aksi kekerasan kepada para korban. Setelah AIDA mempertemukannya dengan korban terorisme, ia menyesali perbuatan masa lalunya dan meminta maaf kepada para korban.
“Selama ini saya tidak pernah berpikir bagaimana dampak korban saat terkena bom. Bagaimana mereka terluka kehilangan tangan, kaki dan bagian tubuhnya. Saya juga tidak pernah berpikir bagaimana penderitaan keluarganya karena ditinggal meninggal oleh korban,” tutur pria asal Madiun, Jawa Timur itu.
Saat pertama kali bertemu korban ia merasa khawatir para korban akan marah kepadanya. Dugaannya keliru. Para korban justru memaafkan semua kesalahannya. “Saya shock ketika melihat korban terluka parah dan dipertemukan dengan saya. Yang membuat saya menangis ketika ternyata mereka mau memaafkan kesalahan saya. Saya merasa bersalah atas apa yang pernah saya perbuat di masa lalu,” katanya.
Choirul juga berpesan kepada para siswa SMAN 1 Paciran yang mengikuti Dialog Interaktif agar menghindari paham-paham keagamaan yang ekstrem. “Dari pengalaman yang telah saya lalui, jangan sampai teman-teman semua terjerumus seperti masa lalu saya. Selalu berpikir positiflah kepada keluarga kita. Kita harus peduli terhadap perdamaian di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Konflik apa pun harus kita sikapi dengan bijaksana, jangan sampai kekerasan dibalas kekerasan,” jelasnya.
Sementara itu, Ni Luh Erniati (korban tidak langsung Bom Bali I 2002) juga berbagi kisah ketika suami tercintanya meninggal dunia menjadi korban bom. Erni harus ikhlas menghadapi kenyataan hidup bahwa suaminya menghembuskan napas terakhir ketika tengah bekerja mencari nafkah di kawasan Legian, Kuta, Bali. Setelah peristiwa itu, ia harus menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga bagi diri dan dua anaknya yang baru berusia 1,5 tahun dan 9 tahun. Berbagai penderitaan menempanya secara bertubi-tubi saat menjalani kehidupan pascatragedi Bom Bali itu.

“Pada awalnya saya tidak bisa menerima kenyataan ini, harus menjadi seorang janda dan membesarkan anak-anak tanpa seorang suami. Yang membuat saya bangkit adalah ketika saya berpikir, anak-anak sudah kehilangan bapak, kenapa mereka harus kehilangan ibu juga. Setiap cobaan pasti ada hikmahnya. Saya tidak dendam. Semakin kita marah semakin kita benci kita akan sakit sendiri,” tuturnya.
Para siswa SMAN 1 Paciran yang mengikuti Dialog Interaktif tampak antusias menyimak kisah dari para narasumber. Salah seorang siswa yang berasal dari perwakilan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) mengatakan, dari kisah korban ia bisa belajar ikhlas atas semua yang terjadi. “Dari Ibu Erni, kita belajar melapangkan dada. Kita belajar mengikhlaskan apa yang telah terjadi, yang lalu biarlah berlalu. Dan, kita harus melakukan suatu hal untuk mewujudkan perdamaian,” katanya.
Sementara seorang siswi lain mengaku memperoleh pembelajaran hidup yang berharga dari kisah mantan pelaku kekerasan. Ia bertekad untuk menjadikan masa lalu yang tidak baik menjadi kekuatan untuk menciptakan masa depan yang cerah. “Dari Pak Ihwan kita belajar dalam hidup kita tidak perlu melihat masa lalu seseorang. Karena setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi baik. Masa lalu membuat kita lebih kuat,” pungkasnya. [AH]