Home Berita Direktur PAS: Sinergi Lapas dan Penyintas untuk Indonesia Damai
Berita - 01/08/2019

Direktur PAS: Sinergi Lapas dan Penyintas untuk Indonesia Damai

Aliansi Indonesia Damai – Penanganan warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) membutuhkan perlakuan khusus. Pendekatan kisah korban terorisme dalam pembinaan WBP dinilai penting dan efektif untuk membuka kesadaran.

Demikian pesan yang ditekankan dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM di Depok, 24-25 Juli 2019. Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Junaedi, menjelaskan jika WBP kasus terorisme tidak ditangani secara baik, maka paham ekstremisme seperti yang mereka anut berpotensi menyebar luas.

Untuk menghindari hal tersebut dibutuhkan pamong WBP kasus terorisme yang memiliki kapasitas khusus untuk menjaga perdamaian di lingkungan Lapas. Kapasitas yang dimaksud meliputi aspek intelektualitas, kedewasaan, serta kematangan sikap dalam berinteraksi dengan WBP. ”Kapasitas itu harus berada di atas rata-rata WBP,” tandas Junaedi.

Ia menyebutkan, pekerjaan sebagai pamong di Lapas adalah tugas yang luar biasa. Pamong berperan penting dalam membina dan mengantarkan WBP untuk bisa aktif menjaga perdamaian di Lapas maupun nanti setelah mereka bebas. Atas dasar itulah, menurut Junaedi, pelatihan seperti yang diselenggarakan AIDA sangat diperlukan untuk meningkatkan kapasitas petugas Lapas.

Menurut Junaedi, pembinaan WBP dengan pendekatan kisah korban merupakan strategi yang efektif. Kisah korban mampu memberikan inspirasi kepada petugas Lapas untuk semakin profesional dalam menjalankan pembinaan kepada WBP kasus terorisme. ”Penyintas juga merupakan elemen penting untuk ikut berpartisipasi. Sehingga tidak ada mal justice atau stigma buruk terhadap WBP bahwa orang yang jahat akan selamanya jahat,” imbuhnya.

Tak berhenti di situ, Junaedi berpandangan bahwa pendekatan kisah korban merupakan salah satu pendekatan humanis terhadap WBP yang sangat efektif membangkitkan empati para pihak yang pernah terlibat kasus terorisme. ”Tinggi rendahnya martabat suatu bangsa dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap pelanggar hukumnya. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang tidak gampang, namun bisa menjadi tidak sulit jika kita bersinergi bersama penyintas, antarpamong, mantan pelaku terorisme dan lembaga sejenis AIDA,” pungkas Junaedi.

Pelajaran dari Penyintas

Dari kiri: Nanda Olivia Daniel (penyintas Bom Kuningan 2004) dan Dewi Sunarti (korban tak langsung Bom Kampung Melayu 2017)

Dalam pelatihan yang dihadiri 23 orang dari 18 Lapas yang tersebar di Pulau Jawa kemarin, dihadirkan lima korban aksi terorisme. Mereka membagikan pengalaman hidup masing-masing sebagai pihak yang terdampak aksi teror. Kelima korban tersebut adalah Desmonda Paramartha (penyintas Bom Surabaya 2018), Nanda Olivia Daniel (penyintas Bom Kuningan 2004), Ni Kadek Ardani (penyintas Bom Bali 2005), Agus Kurnia (penyintas Bom Thamrin 2016), dan Dewi Sunarti (korban tak langsung Bom Kampung Melayu 2017).

”Akibat dari ledakan bom, saat ini saya mengalami spasmophilia, yaitu kelainan saraf motorik sehingga kadang-kadang beberapa bagian tubuh saya di saat-saat tertentu tidak bisa digerakkan,” ungkap Agus Kurnia dalam kegiatan. Sampai hari ini pun dia masih harus menjalani pengobatan.

Meskipun masih merasakan dampak aksi ledakan bom, Agus memilih memaafkan pelaku. ”Saya dari pertama sudah dengan ikhlas (memaafkan-red). Karena menuntut apapun tidak ada jalan penyelesaiannya. Berdamai itu lebih baik,” katanya di hadapan para petugas Lapas peserta pelatihan.

Selain korban aksi terorisme, dalam kesempatan tersebut hadir pula mantan pelaku terorisme, yaitu Sofyan Tsauri dan Choirul Ihwan, untuk berbagi wawasan tentang kiat-kiat menangkal narasi paham ekstremisme, serta pengalaman mereka berinteraksi dengan korban terorisme.

Kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan merupakan salah satu program kerjasama AIDA dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pelatihan ini telah dilakukan delapan kali sejak tahun 2016. Tujuan pelatihan ini untuk meningkatkan kapasitas petugas Lapas dalam menangani WBP kasus terorisme.

”Untuk menangani WBP kasus terorisme tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan secara teologis, sehingga diperlukan pendekatan dengan cara lain. Salah satunya adalah pendekatan dengan perspektif korban,” Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan. [LADW]

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *