Percepat Penerbitan PP Pemenuhan Hak Korban
Aliansi Indonesia Damai- Pemenuhan hak-hak korban terorisme diatur dalam sejumlah regulasi, di antaranya UU No.31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.5 Tahun 2018, dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Kendati demikian, pemenuhan hak-hak korban, khususnya terkait kompensasi korban di masa lalu, baru bisa efektif diimplementasikan jika Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur petunjuk teknisnya diterbitkan.
Selama ini korban tindak pidana terorisme masih sulit mengurus hak-haknya sebagai korban karena PP atas UU No.5 tahun 2018 belum ada. Sebagaimana bunyi pasal 36B UU No.5 Tahun 2018 dijelaskan bahwa tata cara pengajuan, penentuan, dan permohonan besaran jumlah kompensasi bagi korban terorisme diatur dalam PP. Menurut aturan UU, PP tersebut paling lama disahkan satu tahun setelah UU No.5 Tahun 2018 resmi diberlakukan, yaitu pada 22 Juni 2018.
Menyikapi keterlambatan penerbitan PP tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan HAM menggelar rapat harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 5 Tahun 2018 di Jakarta beberapa pekan lalu. Kegiatan tersebut digelar sebagai tindak lanjut dari amanat UU No.5 tahun 2018 untuk membuat aturan turunan tentang kompensasi bagi korban terorisme. Melalui PP tersebut korban bisa mendapatkan hak-haknya, sebagaimana dilansir dari laman kemenkumham.go.id.
Baca juga AS Perpanjang Kompensasi Korban 9/11
Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Noor Sidharta selaku Sekjen LPSK dan Bunyamin selaku Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Noor Sidharta menyampaikan bahwa RPP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 36B dan Pasal 43L Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. RPP ini diharapkan dapat segera diimplementasikan karena berdasarkan Undang-Undang, pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan akan dikoordinasikan oleh LPSK.
Noor Sidharta menambahkan, rapat harmonisasi ini merupakan tindak lanjut dari rapat panitia antarkementerian yang dilakukan sebelumnya oleh Direktorat Perancangan Perundang-undangan. Pokok inti pengaturan dalam RPP ini adalah terkait tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian dan pembayaran kompensasi, restitusi dan bantuan kepada korban terorisme. Korban yang bisa mendapatkan kompensasi, restitusi dan bantuan berdasarkan RPP ini tidak hanya untuk pihak yang menjadi korban setelah UU No. 5 Tahun 2018 saja, namun juga termasuk korban terorisme masa lalu. Meskipun demikian, ketentuan dalam RPP masih perlu didiskusikan lebih lanjut oleh tim khusus terkait pengajuan dan mekanisme pembayaran kompensasi.
Negara, dalam hal ini kementerian atau lembaga terkait, diharapkan segera menerbitkan PP tersebut sebagai bentuk tanggung jawab terhadap korban dari serangan teror yang pernah terjadi. PP yang tak kunjung terbit otomatis menyulitkan korban terorisme dalam pengajuan kompensasi, terutama bagi korban masa lalu. Pasalnya, pengajuan kompensasi dibatasi masa berlaku, yakni 3 tahun sejak UU berlaku. Oleh karena itu, PP tersebut dinilai cukup mendesak untuk segera disahkan.
Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Keuangan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Sekretariat Negara, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. [TH]
Baca juga Resolusi PBB Untuk Korban Terorisme
2 Comments