Generasi Muda Pionir Perdamaian
Aliansi Indonesia Damai- Pemuda dalam lintasan sejarah berperan besar melakukan perubahan sosial. Generasi Muda adalah agen perubahan menuju kondisi yang lebih baik, karenanya harus berkontribusi nyata dalam proses sosial.
Demikian pembelajaran penting dari kegiatan Diskusi dan Bedah Film “Tangguh” di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Sragen, Jawa Tengah pada November 2019 yang diikuti oleh para santri dan guru pondok pesantren di wilayah Sragen. Kegiatan ini diadakan untuk mengampanyekan pentingnya membangun perdamaian. Dalam pembukaan, Ahmad Thuba, fasilitator diskusi, menyerukan kepada generasi muda untuk selalu memperkuat narasi rekonsiliasi dan perdamaian.
“Sebagai generasi muda, para santri harus menyadari pentingnya merajut perdamaian dan membingkai kedamaian di masyarakat,” ujar Thuba yang pernah menjadi peserta pelatihan pembangunan perdamaian di kalangan tokoh agama.
Baca juga Merayakan Perbedaan untuk Perdamaian
Film Tangguh mengangkat lika-liku kehidupan korban terorisme dan mantan pelaku kekerasan. Ketangguhan korban menjalani hidup pascamusibah yang sangat menyakitkan dan tidak mendendam kepada pelaku, di sisi lain pelaku yang telah meninggalkan paham dan kelompok kekerasan berkomitmen membangun perdamaian diharapkan dapat menginspirasi generasi muda untuk terlibat menjaga dan membangun perdamaian.
Belajar dari kisah film Tangguh, di hadapan puluhan santri, Thuba mengingatkan mereka agar selalu menebarkan kasih sayang, sikap saling memaafkan dan menebar kebaikan di lingkungan sekitar. “Dari kisah korban, kita belajar bahwa seseorang dapat bangkit meski pernah disakiti dan dizalimi bahkan menebarkan kebaikan buat orang lain,” tuturnya.
Sementara dari kisah mereka yang pernah terjebak dan bergelut dengan aksi kekerasan, Thuba mengingatkan agar para santri menjaga diri dari pertemanan maupun kelompok yang prokekerasan. Sebab berawal dari pertemanan itulah sejumlah mantan pelaku terjerumus dalam jaringan kekerasan.
Baca juga Merajut Kebersamaan Untuk Perdamaian
Lebih dari itu, Thuba mengungkapkan, pembelajaran lain yang bisa dipetik dari film adalah pertaubatan pelaku dengan meminta maaf kepada para korban terorisme. Pada dasarnya tidak ada orang yang tidak pernah bersalah. “Setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Namun sebaik-baik mereka yang bersalah adalah mereka yang meminta maaf dan bertaubat,” ujar Thuba.
Selain para santri, kegiatan ini juga diikuti oleh beberapa orang guru pondok pesantren. Salah seorang guru berpendapat, paham ekstremisme diawali oleh sikap acuh tak acuh, merasa paling benar, dan menafikan adanya kebenaran pada kelompok lain. “Pembelajaran penting dari film ini salah satunya adalah harus pintar dalam mengelola pendapat tentang kebenaran. Jangan merasa kelompoknya saja yang terbaik sehingga menolak keberadaan dan pendapat orang lain,” ungkapnya.
Di akhir sesi, seorang santri putri menegaskan bahwa generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan dan membangun perdamaian. “Sebagai generasi muda, kita berperan besar dalam menjaga dan menciptakan perdamaian, sebagaimana salah satu amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,” ujarnya. Untuk memperkuat perdamaian, kisah pemaafan korban terhadap mantan pelaku bisa menjadi role model terwujudnya dunia yang lebih damai dan jauh dari kekerasan. [FS]
Baca juga Menebar Maaf Demi Maslahat