03/10/2022

”Overthinking”

Oleh: Kristi Poerwandari
Dosen Fakultas Psikologi UI

Anak muda sering menggunakan istilah overthinking. Jika ngobrol atau berdiskusi dengan mahasiswa, mereka bercerita mengenai cemas atau sulit tidur akibat overthinking. Yang lain bahkan harus berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater untuk membuat dirinya sedikit lebih sejahtera.

Awalnya saya sulit membayangkan apa yang dimaksud dengan istilah overthinking itu. Berarti di masa sebelum sekarang, saya jarang atau nyaris tidak pernah mengalaminya, sampai sulit membayangkan bagaimana rasanya. Belakangan baru saya mengerti tidak nyamannya situasi diri akibat mengalami terus-menerus berpikir dan tidak mampu membuat otak beristirahat.

Baca juga Islam Indonesia Berkelanjutan

Saat itu saya harus menyelesaikan suatu tulisan yang bagi saya sangat sulit, memerlukan membaca banyak sekali literatur dalam waktu amat terbatas. Sambil sekaligus mencari lubang-lubang dan jawaban sementara dari review literatur tersebut untuk dapat disajikan menjadi suatu tulisan akademik yang komprehensif dan memiliki kebaruan.

Dua bentuk

Campur aduk antara antusias, cemas, dan tegang akibat tugas yang sulit dan bertumpuk, kita dapat berminggu-minggu bekerja di depan komputer. Dengan tuntutan pada diri untuk dapat menyelesaikan tugas sebaik mungkin, kita nyaris tidak beristirahat dan larut malam pun masih menjelajah internet.

Ketika sadar bahwa kita telah demikian kelelahan, dan memaksa diri mengambil jeda, ternyata otak telanjur sulit menurunkan aktivitasnya. Otak tetap seperti lampu yang panas menyala dengan berbagai pikiran berkecamuk hilir mudik, membuat istirahat dan tidur sulit dilakukan.

Baca juga Merawat Kebangsaan

Situasi lain yang sering dikenai istilah overthinking adalah ketika kita tidak dapat membebaskan diri dari berpikir atau mencemaskan segala sesuatu secara berlebihan. Biasanya yang dipikirkan atau dibayangkan ialah berbagai hal negatif. Seolah tidak ada ujungnya, kita memikirkan yang lalu, mencemaskan yang mungkin terjadi dalam waktu dekat, maupun untuk jangka panjang.

Penyebab yang kedua lebih bervariasi. Mungkin kita memang memiliki karakteristik diri banyak berpikir dan mencemaskan sesuatu meski lingkungan tidak menuntut demikian. Bisa jadi keluarga atau lingkungan terdekat menuntut kita untuk selalu sempurna. Atau kita pernah mengalami peristiwa menyakitkan tentang suatu kegagalan atau kesalahan yang menyebabkan kita jadi mudah khawatir.

Hidup lebih seimbang

Untuk meminimalkan overthinking, tampaknya kita perlu menyadari kembali bahwa hidup ini perlu dijalani lebih seimbang. Bekerja dan belajar memang mengisi waktu terbanyak dalam hidup kita, tetapi kita juga perlu beristirahat dan memiliki kehidupan sosial.

Mengingat kerja dengan internet dan teknologi tinggi menjauhkan kita dari alam, akan baik jika kita dapat mengembalikan unsur-unsur alam dalam kehidupan kita. Caranya dapat disesuaikan dengan yang cocok dan memungkinkan untuk kita.

Baca juga Otonomi bagi Anak

Apakah dengan mempercantik rumah dengan elemen alam, seperti warna hijau? Berkebun sederhana di halaman rumah? Memelihara binatang? Menghadirkan tanaman di dalam rumah? Cuti untuk berlibur menikmati alam?

Untuk mereka yang tinggal di apartemen sempit serba beton dan tertutup, mungkin baik untuk mencari udara segar saat istirahat, atau bahkan mencari taman atau tempat di luar ruangan untuk bekerja.

Kita perlu lebih tegas menetapkan batasan waktu menggunakan internet atau gawai agar otak dapat diistirahatkan, ada waktu untuk mengerjakan hobi, dan hubungan sosial mulai dapat dibangun kembali.

Baca juga Ilusi Media Sosial

Penelitian menunjukkan bahwa waktu istirahat dan saat menyenangkan dengan teman dan keluarga itu merupakan saat recharge. Jadi, tidak perlu khawatir bahwa pekerjaan akan terbengkalai. Pilih mana: terus sibuk bekerja dengan kepala pusing, hati kesal dan hasil tidak maksimal, atau beristirahat dulu dan kemudian dapat bekerja dengan lebih segar?

Berpikir positif

Overthinking itu muncul karena kita dipenuhi kecemasan atau rasa takut. Tetapi, membayangkan yang serba negatif justru akan membuat kita makin cemas, bahkan seperti terlumpuhkan. Menjadi kacau dalam berpikir, dipenuhi kesedihan, dan sulit untuk dapat mengambil keputusan dengan tenang.

Jadi, lebih baik tidak berpikir ”bagaimana jika nanti gagal atau tidak berjalan baik”, melainkan membayangkan bahwa kita akan mampu menjalani hari meski situasinya tidak sempurna.

Baca juga Tawaf

Di dunia serba teknologi canggih dan penuh kompetisi ini kita memang seperti dikejar-kejar untuk menjadi hebat dan sempurna. Tetapi, justru kita perlu secara berkala mengingatkan diri kembali bahwa kita bukan manusia super atau sempurna.

Jika ketegangan dan kecemasan datang, tarik dan embuskan napas panjang berulang-ulang agar kita merasa lebih tenang. Ubah kata-kata yang kita sampaikan pada diri menjadi ”tidak adil untuk menuntut diri menjadi perfect”, ”saya akan mampu menjalaninya”, ”tugas ini dapat diselesaikan”.

Tidak perlu menuntut diri perfect karena memang diri kita tidak sempurna. Upayakan bahwa kita dapat menyelesaikan tugas tanpa harus menjadi sangat sempurna. Pilih mana: ingin kesempurnaan tetapi malahan jadi tidak pernah selesai dengan tugas, dan makin menyesali diri, atau menyelesaikan tugas dengan satu dua kekurangan, dan dapat berlanjut dengan tahapan berikutnya?

Baca juga Hijrah dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Pada akhirnya, ada banyak hal di dunia ini yang pastinya tidak dapat kita kendalikan. Siapa presiden berikutnya, bagaimana kebijakannya, apakah besok akan hujan, bagaimana tetangga berperilaku, bagaimana atasan mengambil keputusan, serta apa yang dipikirkan oleh teman atau orang-orang di sekitar kita.

Yang dapat kita kendalikan adalah pikiran, perasaan, dan perilaku kita sendiri. Jadi, marilah membantu diri sendiri dengan berkata: ”Aku bukan manusia sempurna, tetapi aku berharga, sama seperti manusia-manusia lainnya. Hidup ini juga tidak sempurna, tetapi semoga aku dapat melakukan hal-hal sederhana untuk membuat hidupku (lebih) baik.”

*Artikel ini dimuat di Kompas.id, 24 September 2022

Baca juga Melindungi Anak dari Pornografi dan Narkoba

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *