12/08/2022

Tawaf

Oleh: Alissa Wahid
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Kesra

Setelah dua tahun pandemi, tahun ini Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mulai memperluas pelaksanaan ibadah haji walaupun belum sepenuh kapasitas maksimalnya. Pada tahun 2022 ini, sekitar satu juta orang dari seluruh dunia mendapatkan kesempatan menjalani ibadah pokok pemeluk agama Islam ini.

Salah satu ritual dalam rangkaian ibadah haji adalah tawaf, yaitu berjalan mengelilingi Kabah, bangunan suci yang menjadi kiblat salat bagi setiap muslim di seluruh titik di dunia. Tawaf adalah ritual spiritual yang sangat menakjubkan. Apalagi, ada titik-titik yang memiliki nilai sangat berharga, seperti Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, dan Hijir Ismail. Di titik-titik ini, jemaah biasanya berusaha berhenti untuk menyentuh atau berdoa khusus, bahkan melaksanakan shalat.

Baca juga Hijrah dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Dapat kita bayangkan bagaimana rumitnya saat sekitar 3 juta umat Islam dalam periode 5 hari bergiliran melakukan tawaf. Sampai saat ini, ibadah ini tidak diatur dengan model modern mengambil nomor antrean atau membariskan jemaah dengan kaku. Semua berjalan tanpa kesulitan yang berarti, tanpa aturan yang membatasi, juga tanpa papan-papan panduan atau buklet petunjuk dari pengelola. Siapa saja bisa masuk halaman dalam Masjidil Haram dan melaksanakan tawaf setiap saat sehingga arus datang dan pergi terjadi secara alamiah.

Menariknya, walaupun tanpa pembatasan kaku, ibadah tawaf haji semakin lama berjalan semakin lancar. Ratusan ribu anggota jemaah pada satu waktu bergerak bersama tanpa pembedaan. Jabatan dan kekayaan tidak memengaruhi hak untuk tawaf. Tidak ada privilese untuk siapa pun, kecuali beberapa kepala negara.

Baca juga Melindungi Anak dari Pornografi dan Narkoba

Titik kesulitan hanya terjadi pada saat mulai memasuki area dan saat harus bergerak menjauh seusai melaksanakan tawaf. Jemaah dari Indonesia dan Malaysia terkenal dengan koordinasi gerakan rombongan mereka yang sangat solid. Mereka saling menjaga, terutama pada saat memasuki dan mlipir mengakhiri ritual menuju arah keluar masjid.

Setelah mengamati dengan sungguh-sungguh prosesi tawaf yang terjadi sepanjang musim ibadah haji tahun ini, saya meyakini tawaf adalah salah satu contoh self-organized social system yang luar biasa efektif. Sebuah sistem dapat berjalan dengan baik ketika bagian-bagian dalam sistem tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai fungsinya. Bagian-bagian tersebut saling terkoneksi, saling memengaruhi dan menunjang.

Baca juga Literasi Digital sebagai Pelindung dari Ancaman Nyata Dunia Maya

Semakin besar ukuran sistem, semakin rumit pengorganisasiannya. Produsen kopi rumahan tentu berbeda pengelolaannya dengan pabrik kopi kelas ekspor yang mengandalkan sistem yang kompleks. Contoh lainnya, perempatan gang dalam kompleks perumahan di pinggir kota Semarang berbeda pengaturan lalu lintasnya dengan percabangan di Simpang Lima di pusat kotanya.

Dalam masa ibadah haji, tawaf menjadi salah satu ritual yang rumit dan kompleks. Ruang fisik Masjidil Haram terbatas, ruang waktu pun terbatasi sementara jumlah jemaah sangat besar. Apalagi, jemaah tentu berharap untuk bisa mendapatkan keberuntungan menyentuh titik-titik istimewa di Rumah Allah ini. Kepentingan pribadi ini berpotensi supertinggi menciptakan konflik terbuka.

Baca juga Memperkuat Rekoneksi Damai

Namun, tidak demikian yang terjadi. Individu ataupun rombongan kecil 3-4 orang sampai rombongan besar puluhan orang mengatur dirinya sendiri selama proses ritual. Mereka tidak berkoordinasi, tetapi dapat bergerak seirama.

Faktor utama tentu saja adalah kejelasan (clarity). Setiap orang memahami betul apa yang akan terjadi dalam prosesi tawaf, dan apa yang harus/akan dilakukannya. Dia bisa saja khawatir akan terpisah dalam rombongan, atau bingung menghafal doa, tetapi setidaknya dia sadar akan laku ritualnya, yaitu berjalan mengelilingi Kabah. Sebagian besar anggota jemaah mempelajarinya pada saat manasik haji. Dengan kejelasan ini, mudah bagi jemaah mengatur dirinya dan rombongannya.

Baca juga Mencari Kita di Tengah Aku

Selain itu, faktor konsistensi dalam sistem yang tercipta ini juga memengaruhi efektivitas prosesi. Konsistensi ini membuat jemaah bisa mengandalkan sistem tawaf, tidak bertanya-tanya tentang apa yang sedang dan akan terjadi. Jemaah tahu tidak mungkin menyuap askar untuk bisa menyentuh Hajar Aswad. Jemaah juga tahu, mereka diperlakukan sama, tidak ada privilese kepada pejabat atau pengusaha.

Faktor lainnya adalah solidaritas antarjemaah. Rombongan-rombongan haji ini tidak saling kenal dan berbeda-beda gaya dan model pengorganisasian, tetapi terhubung oleh perasaan senasib sepenanggungan. Walaupun memiliki kepentingan untuk menjaga rombongannya tetap solid, semangat persaudaraan ini menciptakan ruang saling menghormati.

Baca juga Pendidikan dan Ketenangan Jiwa

Kesadaran untuk menghormati kesucian Rumah Allah juga menjadi salah satu faktor yang membuat jemaah menjadi lebih mampu menahan diri dan berbesar hati. Jemaah enggan untuk bersikap menang-menangan atas kepentingan sendiri dengan mengorbankan jemaah lain. Karena itu, tidak ada keributan atau orang bertengkar akibat pakaian terinjak atau rebutan jalan yang tentunya tak bisa terhindarkan terjadi di tengah ratusan ribu orang yang bergerak bersama.

Semua hal itu membuat sistem dapat berjalan dengan optimal sehingga rombongan dan individu jemaah dapat melaksanakan ibadah tawaf dengan lancar.

Saya membayangkan apabila kita dapat secara sengaja mengembangkan beberapa hal ini dalam proses nation-building kita, tidakkah Indonesia akan menjadi lebih kuat? Apabila kita mampu mengembangkan rasa senasib sepenanggungan, mampu menjaga semangat suci kita sebagai bangsa, diikuti dengan kejelasan jati diri kita serta konsistensi kita membangun negeri ini… ah, betapa cemerlangnya masa depan Indonesia. Mungkinkah?

*Artikel ini terbit di Harian Kompas, 31 Juli 2022.

Baca juga Ancaman Ekstremis-Radikalis di Era Disrupsi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *