16/08/2022

Ilusi Media Sosial

Oleh: Ratih D Adiputri
Peneliti dan Pengajar di Universitas Jyväskylä, Finlandia

”Ibu, bolehkah saya meminta nomor Whatsapp Ibu?” Pertanyaan ini sering saya terima dari banyak orang (terutama dari Indonesia dan Malaysia) yang ingin berkomunikasi lebih lanjut. Pertanyaan ini mengherankan karena biasanya pertanyaan ini diajukan setelah berkomunikasi lewat pesan Instagram, Facebook Messenger, atau bahkan lewat e-mail atau surat elektronik (surel).

Jadi, walaupun sudah mengirimkan surel yang lebih resmi, mereka masih merasa harus meminta nomor Whatsapp alias nomor telepon pribadi saya. Tidak heran apabila kasus kebocoran data pribadi sejak tahun 2021 terus marak terjadi di dua negara ini (Kompas, 3 Maret 2021; Tempo, 3 September 2021; The Straitstimes, Mei 2022) karena semua orang dapat bertukar nomor telepon dengan mudah tanpa memverifikasi kepada orang yang bersangkutan. Saya sering sekali diikutsertakan dalam suatu grup, dari nomor telepon berawalan +62, tanpa izin sebelumnya.

Baca juga Tawaf

Saya selalu menolak memberikan nomor pribadi telepon saya dan perlu menjelaskan bahwa mengontak saya sudah cukup memakai media yang mereka lakukan (toh, saya membalasnya apabila penting). Saya lebih menyukai korespondensi lewat surel, terutama untuk urusan pekerjaan, misalnya menjadi narasumber suatu acara, sehingga gampang ditindaklanjuti. Mengapa harus menggunakan Whatsapp lagi?

Media sosial dan pro-kontranya

Media sosial sudah menjadi bagian keseharian masyarakat Indonesia. Menurut dataIndonesia, sejak Januari 2022, sebanyak 191 juta orang adalah pengguna aktif media sosial, baik di Whatsapp, Instagram, Facebook, maupun TikTok. Jumlah ini setara hampir 70 persen total populasi. Jumlah yang sangat besar. Apalagi, Indonesia merupakan pengguna terbesar Whatsapp di dunia. Menurut penggunanya, berjumlah 84,8 juta, yang menduduki tempat ketiga di dunia.

Baca juga Hijrah dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Jadi, sekitar 72,5 persen populasi menggunakan metode Whatsapp untuk berkomunikasi. Namun, justru karena penggunaan Whatsapp menggunakan nomor telepon pribadi inilah, negara-negara Uni Eropa tidak menyarankan penggunaan aplikasi ini dalam komunikasi formal, apalagi setelah meluncurkan kebijakan General Data Protection Regulation, yang mulai berlaku sejak tahun 2018, untuk melindungi data pribadi seseorang, yang merupakan hak individu yang bersangkutan. Penggunaan media sosial di Eropa berkisar 57 persen untuk orang berusia 16-74 tahun pada 2020 walau pengguna Whatsapp dan Instagram juga berjumlah besar.

Media sosial memang bermanfaat untuk sarana bersosialisasi, terutama dengan teman/rekan lama yang terpisah, atau berkenalan dengan orang baru yang dilakukan secara digital. Namun, layaknya sosialisasi, apabila memungkinkan, pertemuan akan diikuti dengan pertemuan tatap muka. Ini yang tidak disikapi bijak oleh masyarakat Indonesia. Lebih sering kita melihat, apabila ada pertemuan-pertemuan di tempat terbuka, orang-orang masih sibuk dengan ponsel genggamnya masing-masing dan tidak menikmati pertemuan tatap muka yang sedang berlangsung, tetapi malah asyik dengan dunia digitalnya sendiri.

Baca juga Melindungi Anak dari Pornografi dan Narkoba

Dalam buku Ten Arguments for Deleting Your Social media Accounts (2018) karya Jaron Lanier, penulis menganjurkan untuk tidak menggunakan media sosial sama sekali. Argumennya lebih untuk menghindari keragaman pribadi dan modifikasi perilaku yang ”ditentukan” oleh media sosial serta karena media sosial menonjolkan hal yang tidak berarti.

Gerakan global di media sosial

Seorang rekan saya di Facebook, memunggah setiap hari foto dirinya dengan wajah serius memegang panci (yang bersih) dan alat pemukul panci untuk mendukung Gerakan #potsandpansformyanmar, suatu gerakan solidaritas global untuk mendukung demokrasi Myanmar pascakudeta militer tanggal 1 Februari 2021. Yang disebutkan juga merupakan bagian dari kegiatan Global Movement for Myanmar Democracy. Di saat artikel ini ditulis, ia sudah melakukan kegiatannya 523 hari.

Baca juga Literasi Digital sebagai Pelindung dari Ancaman Nyata Dunia Maya

Kegiatan ini mengagumkan karena ia akan secara konsisten melakukan unggahan setiap pukul 08.00 malam waktu Myanmar dan berharap solidaritas ini meruntuhkan kudeta militer di Myanmar. Tentu saja, keruntuhan kudeta militer tidak cukup dilakukan dengan suatu unggahan semu. Harus ada aksi nyata, seperti demonstrasi fisik atau aksi-aksi boikot sesungguhnya, daripadanya hanya unggahan di media sosial.

Ini yang diceritakan oleh buku Lanier bahwa media sosial memberikan ilusi semu dan tidak berarti (meaningless). Lanier mencontohkan dengan gerakan #MeToo, suatu gerakan sosial sejak tahun 2006, untuk melawan kekerasan dan gangguan seksual, juga budaya pemerkosaan dengan menyalahkan pihak korban, dalam hal ini perempuan. Gerakan ini mendorong agar perempuan memublikasikan pengalaman kekerasan seksual yang diterimanya untuk memberdayakan perempuan dan membangun solidaritas bersama. Gerakan ini pun didukung artis-artis ternama di Amerika Serikat, seperti Gwyneth Paltrow, Ashley Judd, Jennifer Lawrence, dan Uma Thurman.

Baca juga Memperkuat Rekoneksi Damai

Namun, walaupun unggahan seperti ini di media sosial, terutama di Twitter dan Facebook, mampu membangun kebersamaan dan solidaritas, terutama di Amerika Serikat, pada akhirnya, unggahan yang tidak diikuti oleh gerakan mengubah kebijakan atau legislasi yang memihak perempuan korban pihak kekerasan atau perempuan berlatar belakang minoritas akan sia-sia. Celotehan dan opini dalam media sosial, apalagi dalam lingkup digital, tidak berarti apa-apa apabila tidak diikuti dengan aksi nyata yang menolong perempuan-perempuan korban kekerasaan. Misalnya, berdiskusi dengan wakil rakyat atau lembaga advokasi setempat untuk perlindungan perempuan korban kekerasan seksual.

Menggunakan media sosial dengan bijak

Lebih lanjut, Jaron Lanier merekomendasikan untuk tidak menggunakan media sosial sama sekali, dan menurut saya, ini saran yang terlalu ekstrem. Seperti fenomena munculnya televisi dalam rumah tangga di tahun 1980-1990-an, masyarakat mengkhawatirkan waktu yang terbuang untuk hanya menonton televisi dan tidak melakukan kegiatan lain. Hal itu kemudian disiasati dengan mengatur waktu menonton yang bijak. Hanya saat-saat tertentu (misalnya, waktu berita nasional atau program film yang menarik) dan tidak sepanjang waktu. Media sosial hendaknya diberlakukan juga seperti itu.

Baca juga Mencari Kita di Tengah Aku

Setidaknya, menurut saya, apabila menghabiskan waktu terlalu banyak di dalam media sosial, aktivitas sosial kita di dunia nyata akan terganggu. Namun, apabila dilakukan dengan bijak dan cerdas, untuk beberapa saat saja, kemungkinan waktu kita tidak terbuang percuma. Saya sendiri tidak memiliki akun Twitter (Youtube, Tiktok, atau Snapchat), mencoba mengurangi penggunaan di Facebook (ada grup klub buku yang infonya masih saya ikuti), dan mengakses Instagram maksimal satu jam saja. Di Whatsapp, saya gunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga serta teman-teman dekat dan lokal untuk waktu janjian ketemuan saja (sama seperti SMS). Saya merasa tidak ketinggalan berita atau hal penting dengan pilihan saya ini. Komunikasi resmi, apalagi urusan pekerjaan, lakukan dengan surel formal dan mailing list kantor atau lembaga tempat bekerja. Gunakan media sosial dengan bijak dan jangan menghabiskan waktu berharga kita untuk media sosial.

Maka, pada akhirnya, tolong jangan meminta nomor Whatsapp saya lagi untuk berkomunikasi.

*Artikel ini terbit di Kompas.ID pada 31 Juli 2022

Baca juga Pendidikan dan Ketenangan Jiwa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *