Otonomi bagi Anak
Oleh: Kristi Poerwandari
Dosen Fakultas Psikologi UI
Mungkin banyak dari kita yang kurang menyadari pentingnya memenuhi kebutuhan akan otonomi bagi anak, remaja, dan orang muda. Orang tua tidak jarang melakukan berbagai hal bagi anak yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh anak itu sendiri. Yang lain mengatur dan memantau aktivitas anak dengan ketat dan menegur ketika ia berperilaku tidak sesuai dengan yang dikehendaki orang tua.
Ada juga orang tua yang tidak memberikan ruang pribadi bagi anaknya yang remaja, ia merasa boleh mengecek gawai atau barang-barang pribadi anak. Tidak sedikit pula yang mengambil-(kan) keputusan untuk anaknya yang sesungguhnya sudah melewati usia remaja. Entah mengenai jurusan kuliah yang akan ditekuni, pilihan karier, ekstrakurikuler, aktivitas waktu luang, teman, bahkan pasangan hidup.
Baca juga Ilusi Media Sosial
Cerita di atas cukup sering kita dengar atau mungkin juga terjadi dalam keluarga kita sendiri. Masyarakat pada umumnya menganggap biasa, memaklumi, bahkan dalam hal-hal tertentu, menyetujui sikap orang tua yang mengambil keputusan bagi anak.
Mungkin karena masyarakat kita menekankan penghormatan kepada orang yang lebih tua. Percaya bahwa orang tua memang memiliki kekuasaan atas anak. Yakin bahwa kepatuhan anak kepada orang tua adalah hal penting yang akan memperlancar jalan anak menuju kesuksesan atau kebahagiaan.
Pentingnya otonomi
Richard Ryan dan Edward Deci (2017) dalam bukunya mengenai Self-Determination Theory membahas tiga kebutuhan dasar yang bersifat psikologis pada manusia, yakni kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan relasi. Meski ketiganya hampir selalu saling terkait dan sulit dilihat secara terpisah, tulisan kali ini akan lebih banyak membahas soal kebutuhan akan otonomi.
Baca juga Tawaf
Ryan dan Deci dengan tegas menyampaikan bahwa sesungguhnya, terpenuhinya kebutuhan akan otonomi adalah hal amat penting bagi semua manusia, yang telah ada sejak usia dini. Kemampuan menghayati otonomi akan mendasari bagaimana anak dan remaja dapat tumbuh menjadi manusia dewasa yang paham mengenai tujuan hidupnya, tangguh, sekaligus bahagia. Pengalaman kami bertahun-tahun mendampingi klien menyepakati yang disampaikan Ryan dan Deci.
Benarkah demikian? Mungkin ada cukup banyak pembaca yang belum teryakinkan. Bukankah anak belum tentu tahu apa yang baik bagi dirinya? Bukankah yang diinginkan anak bisa jadi hal yang buruk? Bukankah orang dewasa memiliki lebih banyak pengalaman sehingga besar kemungkinan lebih mengetahui daripada anak itu sendiri?
Baca juga Hijrah dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Mungkin kita perlu memperjelas dulu apa yang kita maksud dengan otonomi. Otonomi menunjuk pada situasi di mana individu dapat mengatur pengalaman dan tindakan-tindakannya, menghayatinya sebagai keinginannya sendiri, untuk dapat berfungsi sebagai manusia yang kongruen, terintegrasi, dan sejahtera secara psikologis.
Manusia adalah organisme yang unik dan akan terus bertumbuh apabila diberi keleluasaan untuk itu. Sesungguhnya, kebutuhan akan otonomi telah ditunjukkan oleh anak sejak masa dini. Bila ia ingin belajar berjalan, dan ditahan oleh orang tuanya yang takut ia akan jatuh, ia berontak dan menangis. Bila dihadapkan pada banyak permainan, ia akan memilih yang lebih disukai. Ia punya pakaian dan sepatu kegemaran yang dianggapnya lebih keren. Di usia sekolah, ia mulai menunjukkan minat lebih besar untuk menekuni hal-hal tertentu.
Baca juga Melindungi Anak dari Pornografi dan Narkoba
Ketika sejak usia dini kebutuhan akan otonomi tidak terpenuhi, individu merasa tidak dimengerti, kesal, kehilangan semangat dan antusiasme, serta tidak dapat menemukan makna dari aktivitas yang ditekuni.
Ada pula situasi sebaliknya, di mana orangtua terus melayani dan melakukan berbagai hal yang sebenarnya sudah dapat dilakukan sendiri oleh anak. Misalnya, menyuapi, memandikan, membawakan tas sekolah anak, atau mengerjakan tugas sekolah anak. Bila demikian halnya, bagaimanakah kita melatih kemandirian, rasa tanggung jawab, kegigihan, dan daya juang? Bagaimana dapat menanamkan kepedulian, sikap bela rasa, dan keberanian dengan cara asuh orang tua yang demikian?
Baca juga Literasi Digital sebagai Pelindung dari Ancaman Nyata Dunia Maya
Bila orang tua sibuk mengendalikan atau mengambilkan keputusan, anak mungkin jadi kehilangan kepercayaan diri, bersikap masa bodoh, kehilangan minat, bahkan apatis. Pasif dan enggan mengambil tanggung jawab atas hidupnya. Atau sebaliknya, memberontak dan melakukan tindakan-tindakan yang mungkin merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Membangun otonomi
Mengapa sebagian orang tua sulit memenuhi kebutuhan otonomi anak? Penyebabnya ragam. Ada yang merasa yakin ia lebih mengetahui apa yang baik bagi anak karena asam garam pengalamannya sendiri. Ada yang karena merasa sangat sayang, ingin mempermudah kehidupan anaknya, mencegah anak terpapar pada kesulitan. Yang lain terlalu cemas anak akan melakukan kesalahan, atau akan dijahati orang.
Yang lain lagi mungkin punya masalah dengan kepercayaan dan penerimaan diri. Misalnya, selalu dihantui keraguan apakah orang lain sungguh menyayanginya. Ia khawatir anaknya akan meninggalkannya, atau lebih dekat dengan orang lain.
Baca juga Memperkuat Rekoneksi Damai
Ada pula yang mungkin memang egois, sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sebagai orang tua merasa memiliki hak dan kekuasaan atas anak. Ia tidak siap dengan perbedaan pendapat, dan mungkin punya ambisi-ambisinya sendiri mengenai anak.
Memiliki otonomi bukan berarti bersikap egois atau tidak peduli kepada orang lain. Bukan pula berarti tidak menghormati orang tua. Bagaimana bila orangtua khawatir akan pilihan anaknya?
Baca juga Mencari Kita di Tengah Aku
Daripada melarang atau mengambilkan keputusan bagi anak, akan lebih baik melapangkan dada untuk dapat mengobrol dari hati ke hati dengan anak. Bukan dengan tujuan untuk menasihati dan meminta anak mengikuti keinginan orang tua. Melainkan untuk lebih memahami apa yang dipikirkan anak.
Ketika kita paham cara berpikir anak, kita perlahan dapat memberikan masukan tentang alternatif-alternatif pilihan atau tindakan, dan membantunya menemukan yang paling sesuai dengan kebutuhannya untuk bertumbuh.
*Artikel ini terbit di Kompas.id, 27 Agustus 2022
Baca juga Pendidikan dan Ketenangan Jiwa