Perdamaian di 2023: Harapan dan Tantangan
Pembangunan perdamaian menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia yang sifatnya kontinyu, tak kenal henti. Di samping pandemi Covid-19 yang diproyeksikan segera berakhir, serta resesi ekonomi yang diprediksi niscaya terjadi, tahun 2023 mesti disongsong dengan semangat optimisme untuk memajukan kerja-kerja membangun perdamaian, baik di Tanah Air maupun di dunia pada umumnya.
Sepanjang 2022 sejumlah situasi nirdamai pecah. Mulai dari perang Rusia dan Ukraina yang dimulai pada Februari, hingga terkini di Indonesia, terjadi aksi teror bom di Polsek Astanaanyar, Bandung sebulan lalu. Beragam kasus tersebut wajib ditempatkan sebagai refleksi betapa perdamaian merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, bahkan semua makhluk. Sekalinya kata damai hilang dari kehidupan, yang muncul adalah peristiwa destruktif yang betul-betul menghancurkan segalanya.
Baca juga Disonansi Memicu Koreksi Bag. 1
Kondisi hilangnya perdamaian bukanlah isapan jempol semata. Kesaksian korban dan mantan pelaku terorisme cukup menjadi buktinya. Aksi teror pengeboman di Bali pada 12 Oktober 2002 menghilangkan mendiang Gede Badrawan, satu dari 202 korban jiwa dalam tragedi tersebut. Istrinya, Ni Luh Erniati, seketika terguncang. Selain kondisi psikologisnya yang sangat terpukul atas kepergian suami sebagai korban bom, ia langsung menanggung beban membesarkan dua buah hatinya yang masih di bawah umur seorang diri. Peristiwa Bom Bali secara nyata menimpakan penderitaan bagi Ni Luh serta korban-korban lainnya. Belum lagi kondisi pariwisata terpuruk dan secara lebih luas perekonomian negara merosot.
Pun dari sisi mantan pelaku, jalan panjang mereka berproses dari mula terpapar paham terorisme hingga mencapai titik pertobatan dan kini berbalik menyuarakan perdamaian, sungguh pengalaman mereka begitu otentik. Dalam berbagai kesempatan, sejumlah mantan pelaku terorisme menepis narasi bahwa aksi yang mereka buat serta keberadaan kelompok mereka adalah setting-an dari pihak-pihak tertentu. Seperti yang disampaikan oleh Ali Fauzi, mantan petinggi Jemaah Islamiyah yang juga adik dari trio pelaku Bom Bali, saat berbicara dalam sejumlah kegiatan AIDA. Dia berulang kali menegaskan, “Bom Bali one hundred percent made in Lamongan.” Kalimat tersebut ia dengungkan setiap kali mendapati pihak yang berpikir bahwa penguasa asing dalang dari aksi teror.
Baca juga Disonansi Memicu Koreksi (Bag. 2)
Untuk itulah perdamaian harus menjadi perhatian bersama setiap elemen masyarakat. Perdamaian bukan hanya wajib diadakan (peace-making), melainkan juga harus dipelihara dan dirawat (peace-keeping). Bahkan tak cukup di situ, ibarat sebuah bangunan yang bertumbuh, perdamaian juga harus terus dikembangkan (peace-building) sehingga kokoh dari terpaan tantangan dan ancaman. Belakangan, kalangan akademik berinovasi bahwa demi kelestarian perdamaian maka potensi konflik perlu ditransformasikan (conflict transformation), tidak sekadar diatur (conflict management) atau dicarikan solusinya (conflict resolution).
Selain itu, kaitannya dengan pembangunan perdamaian di Indonesia, negara memiliki dua pekerjaan rumah yang menuntut adanya implementasi yang serius. Pertama, negara harus semakin meningkatkan peran dan fungsinya dalam memenuhi hak-hak korban serta mencegah residivisme pelaku tindak pidana terorisme. Praktik pelayanan medis bagi korban sesaat setelah kejadian, termasuk penjaminan biaya rumah sakit, serta penyediaan layanan psikologis dan psikososial pada masa selanjutnya, juga pembayaran kompensasi yang telah berjalan selama ini harus terus ditingkatkan implementasinya. Di sisi lain, berbagai insiden di mana narapidana kasus terorisme setelah bebas dari hukuman kembali beraksi, menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap program yang selama ini dijalankan.
Baca juga Disonansi Memicu Koreksi (Bag. 3 Selesai)
Kedua, negara penting untuk semakin luas memberikan ruang bagi korban dan mantan pelaku untuk mengampanyekan perdamaian. Berdasarkan pengalaman AIDA, kesaksian mereka yang secara faktual mengalami aksi terorisme merupakan ‘suara tepercaya’ yang efektif meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan. Potensi korban dan mantan pelaku sebagai ‘suara tepercaya’ ini harus semakin didukung agar perdamaian semakin menggema di tengah kehidupan masyarakat.
Baca juga Membimbing Anak Bermedsos