28/12/2022

Mencari Celah Kebaikan

Oleh Kristi Poerwandari
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Tak terasa, tahun 2022 akan segera berlalu. Meski situasi mungkin tidak sesulit di masa pandemi Covid-19, kita masih harus tetap berhati-hati. Dari sisi kesehatan, kita tetap menemukan bahwa di sana-sini, masih ada infeksi Covid-19. Dengan demikian, menjaga kesehatan tetap menjadi prioritas utama.

Sementara itu kita juga perlu memastikan bahwa kehidupan ekonomi keluarga dapat berjalan dengan lancar untuk jangka panjang. Apalagi cukup banyak yang memprediksi bahwa kondisi ekonomi global di tahun mendatang akan cukup suram.

Bagaimanakah hidup kita pada tahun 2023? Dalam situasi apa pun, apalagi bila telah mengantisipasi tantangan, sebagai manusia kita berharap menemukan celah-celah kebaikan. Tujuannya untuk dapat mengatasi rasa cemas dan takut, demi dapat meyakinkan diri sendiri bahwa kita akan mampu menghadapi perjalanan berikutnya –yang entah bagaimana wujudnya.

Baca juga Melawan Rasa Takut

Bagaimana bila kita memang merasa sangat cemas, atau cenderung gampang terpaku pada sisi-sisi yang lebih negatif atau mengecewakan dari hidup kita? Bukankah berpura-pura optimis itu tidak bermanfaat, bahkan terasa tidak otentik dan memuakkan? Bagaimana membawa pola berpikir positif dan optimis dalam menjalani hidup? Bagaimana menemukan celah-celah kebaikan untuk terus dapat menghadirkan harapan?

Satu hal penting adalah menyadari bahwa tantangan yang kita hadapi saat ini, dialami juga oleh banyak orang lain. Di masa sebelum pandemi, rencana-rencana yang kita susun mungkin dapat berjalan dengan lancar. Akan tetapi situasi sekarang tidak lagi sama seperti sebelumnya. Oleh karena itu, bila yang kita rencanakan tidak terlaksana secara mulus, tidak perlu melihatnya sebagai bentuk kegagalan diri, apalagi yang disikapi dengan kemarahan kepada diri sendiri atau orang lain.

Mungkin kita tetap berfokus pada tujuan semula tetapi dengan memperpanjang lini waktunya? Atau menyadari bahwa yang direncanakan menjadi kurang relevan dalam situasi sekarang sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian?

Baca juga Membangun Budaya Damai Melalui Umpan Balik

Penting untuk tetap mencoba bertekun sekaligus bersabar. Menetapkan tujuan dan membuat rencana kerja tetap amat penting, karena hal tersebut membuka kesempatan bagi kita untuk memberikan perhatian lebih seksama, serta menemukan peluang-peluang baru, atau strategi-strategi berbeda dalam situasi yang tidak lagi sama.

Penetapan tujuan juga dapat diturunkan dalam pilahan-pilahan yang lebih kecil untuk mengukur kemajuan. Bila yang direncanakan tidak berjalan, kita dapat mengevaluasi dan menemukan penjelasan yang lebih baik mengenai apa yang harus dilakukan.

Sikap hidup positif

Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengamati orang-orang lain yang memiliki sikap hidup positif. Ada banyak orang yang secara obyektif –dalam perbandingan dengan orang-orang lain– mungkin memiliki banyak hal yang perlu disyukuri tetapi tidak melakukannya.

Individu tidak bersyukur karena tidak mampu melihatnya. Bukan sekadar tidak mampu melihat, mereka mungkin bahkan banyak berkeluh kesah, merasa diperlakukan tidak adil.

Baca juga Membangun Komunikasi Damai

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang memilih memfokus pada sisi-sisi positif hidupnya. Mereka menghadapi banyak kesulitan dan tantangan, tetapi memutuskan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal besar, kecil, hingga yang sangat sederhana sekalipun, sebagai hal istimewa, dan mengucapkan syukur atas hal tersebut.

Sebagai contoh, bersyukur bahwa dalam keadaan sulit, dapat tetap hidup sehat. Atau, bersyukur karena sempat sakit, tetapi memiliki kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan diri. Atau, karena situasi ekonomi sangat sulit, tidak sempat mengambil libur, tetapi mengucapkan terima kasih juga karena masih memiliki pekerjaan dan kesehatan.

Baca juga R20: Catatan dari Forum Perdamaian Dunia ke-8 di Solo

Berdekatan dengan orang-orang yang mampu bersikap demikian, akan terasa berbeda. Kita ingin menyerap energi dari mereka untuk memberi harapan bagi hidup kita sendiri. Mereka menghadirkan suasana nyaman pada diri, orang lain, dan lingkungan bersama. Bila telah berada di lingkaran demikian, kita perlu mensyukurinya dan dapat secara reguler meluangkan waktu berbincang-bincang mengenai persoalan yang kita hadapi.

Minat sosial

Mengingat celah kebaikan seyogyanya dari segala arah, satu pertanyaan yang mungkin dapat kita ajukan pada diri sendiri adalah: apakah selama ini kita cukup peduli untuk menghadirkan suasana yang nyaman bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan? Ataukah kita demikian sibuk dengan ambisi dan agenda-agenda kita sendiri, sehingga sebenarnya justru menghadirkan ketegangan dan suasana negatif dalam pergaulan?

Bila selama ini kita lupa untuk menghadirkan celah kebaikan, kita dapat memulainya sekarang. Tidak perlu berpikir hal-hal besar, karena kita dapat mulai dari hal-hal yang sederhana saja. Tersenyum pada tetangga, menghibahkan barang pada pengambil barang rongsokan, membeli dari orang kecil tanpa menawar berlebihan, berkata sopan dan mengucapkan terima kasih pada orang yang posisinya di bawah kita.

Baca juga R20: Fikih Toleransi dan Rekonsiliasi Konflik

Saya jadi ingat teori sangat klasik dari Alfred Adler, yang mengatakan bahwa orang tanpa minat sosial mungkin berambisi besar tetapi sering merasakan kekosongan. Adler kemudian mengupayakan kesehatan mental kliennya dengan memfasilitasi kepedulian dan minat sosial.

Di masa kini telah sangat berkembang psikologi positif dengan dukungan riset yang meluas mengenai bagaimana memberikan kebaikan itu bermanfaat bukan hanya untuk orang lain, melainkan lebih untuk diri kita sendiri.

*Artikel ini terbit di Kompas.id pada Sabtu, 24 Desember 2022

Baca juga Mazhab Pembinaan versus Mazhab Penjeraan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *