Tangguh Menyikapi Masalah
Aliansi Indonesia Damai- “Saya mendapat banyak pembelajaran dari kisah narasumber, yaitu harus terus tangguh dalam menyikapi masalah.”
Ungkapan di atas terlontar dari lisan seorang siswa SMAN 6 Bekasi saat mengikuti Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh.” Kegiatan tersebut merupakan satu rangkaian dari kampanye perdamaian AIDA di kalangan pelajar di Kota Bekasi sepekan lalu. Kegiatan dimaksudkan untuk menguatkan budaya cinta damai serta memompa semangat ketangguhan generasi muda. Sebanyak 50 siswa-siswi lintas kelas dan organisasi mengikuti kegiatan dengan khidmat.
Baca juga Pendidikan “Menyelamatkan” Mantan Ekstremis
Acara Dialog Interaktif menghadirkan korban aksi teror bom serta mantan pelaku terorisme untuk berbagi kisah ketangguhan kepada para peserta. Dalam kesempatan di SMAN 6 Bekasi, AIDA menghadirkan Nanda Olivia Daniel, korban Bom Kuningan 2004. Nanda menceritakan, saat kejadian, yaitu tanggal 9 September 2004, dirinya sedang dalam perjalanan untuk kuliah. Perempuan berkaca mata itu mengaku, waktu itu dirinya sempat merasakan firasat bahwa beberapa tahun belakangan terjadi beberapa kali aksi teror bom di Indonesia. Ia pun berpikir bagaimana bila kejadian teror menimpanya. Kendati ada perasaan seperti itu, ia berketetapan hati untuk berangkat kuliah lantaran ada keperluan yang harus diselesaikan di kampusnya.
Nanda berangkat ke kampusnya menaiki bus kota. Saat bus melintasi Jalan HR Rasuna Said atau Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, rupanya peristiwa yang tak diharapkan betul-betul terjadi. Tepat di depan gedung Kedutaan Besar Australia sebuah mobil boks putih meledak dengan dahsyat. Ledakan tersebut seketika merusak bangunan, kendaraan, benda-benda, dan tak terkecuali manusia, yang ada di sekitarnya. Nanda yang saat itu berada di dalam bus terkena serpihan dan ledakan bom, hingga membuat tubuhnya dipenuhi luka.
Baca juga Penyintas: Kita Harus Memikirkan Masa Depan
Di hadapan siswa-siswi SMAN 6 Bekasi, Nanda mengaku butuh waktu lama untuk memulihkan fisik dan psikisnya akibat insiden tersebut. Titik kebangkitannya bermula ketika dirinya terus mendapat dukungan dari keluarga serta sesama korban. Seiring waktu kondisi kesehatannya berangsur membaik, meskipun tidak sempurna seperti sedia kala, hingga pada satu waktu dia menyadari bahwa sudah saatnya dirinya berdamai dengan tragedi tersebut dan melanjutkan hidup dengan lebih bersemangat. Keputusannya untuk move on ia rasakan berdampak baik juga bagi kesehatan mentalnya. Puncak keikhlasan Nanda terjadi ketika dirinya mampu memaafkan bahkan menjalin rekonsiliasi dengan para mantan pelaku terorisme yang telah bertobat.
Sementara itu, mantan pelaku terorisme yang dihadirkan untuk berbagi kisah di SMAN 6 Bekasi ialah Kurnia Widodo. Kurnia, begitu ia kerap disapa, merupakan mantan anggota kelompok teroris bernama Negara Islam Indonesia (NII). Saat berkiprah dalam gerakan terlarang tersebut, ia pernah bereksperimen membuat dan meledakkan bom sampai beberapa kali hampir celaka. Pengalaman hampir terkena ledakan bom buatannya sendiri itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus melanjutkan “perjuangan” dan kepentingan kelompoknya.
Baca juga Siswa SMAN 2 Bogor: Jangan Puas dengan Satu Sudut Pandang
Langkah Kurnia baru terhenti ketika dirinya ditangkap oleh aparat. Ia pun dihukum mendekam di penjara. Namun, di masa itu pulalah dirinya menemukan titik balik perubahan. Kurnia mulai berdialog dengan seniornya sesama narapidana kasus terorisme yang pemikirannya lebih moderat. Dari itu ia mengaku pikirannya menjadi lebih terbuka lantaran mendapati beberapa doktrin kekerasan yang diajarkan oleh kelompoknya sangat bertentangan dengan semangat perdamaian yang dijunjung tinggi agama. Pria berkacamata itu juga mendapatkan perlakuan yang humanis dari para petugas di lembaga pemasyarakatan. Semua itu, katanya, mendorong dirinya untuk bertobat dari paham terorisme dan memilih berbalik menyuarakan perdamaian.
Salah seorang peserta Dialog Interaktif di SMAN 6 Bekasi mengaku mendapatkan ‘ibroh atau pembelajaran amat berharga dari kegiatan tersebut. Berkaca dari pengalaman penyintas dan mantan pelaku terorisme, ia mengaku bisa menjadi pribadi yang lebih bersyukur atas anugerah kehidupan dengan segala nikmat dan cobaannya. “Saya merasa bersyukur atas kehidupan yang saya miliki saat ini, karena saya merasa nasib saya ternyata lebih baik daripada korban dan mantan pelaku,” ujarnya. [FAH]
Baca juga Kepsek SMAN 2 Bogor: Nilai Perdamaian Perlu Ditanamkan sejak Dini