Tragedi Gaza dan Masa Depan Geopolitik Global
Oleh: Shohib Masykur,
Diplomat Indonesia
Indonesia, sebagai pemain utama di ASEAN, harus menjadi yang terdepan dalam upaya menjaga perdamaian.
Gaza adalah sebuah tragedi. Memasuki bulan kelima invasi oleh Israel, lebih dari 30.000 nyawa melayang. Mayoritas mereka adalah anak-anak dan perempuan.
Dunia tak berdaya menghentikan kebrutalan Israel yang di luar batas nalar. Kemanusiaan dan hukum internasional, dua norma yang menjadikan Bumi layak ditinggali, mendadak bersembunyi.
Desakan banyak pihak untuk menghentikan kekerasan, termasuk Mahkamah Internasional (MI), tak diindahkan oleh Israel. Peringatan Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahwa Israel bisa kehilangan dukungan internasional juga dianggap angin lalu. Mengapa Israel senekat itu?
Baca juga Membumikan Perjanjian Al-Mizan
Untuk memahaminya, kita perlu menempatkan konflik ini dalam konteks geopolitik yang lebih besar. Apa yang terjadi di Gaza merupakan salah satu simtom tatanan global yang dalam diskursus hubungan internasional disebut multipolarisme. Konflik Gaza tidak bisa dipisahkan dari konteks besar itu.
Bukan balasan biasa
Sepintas, serangan membabi buta Israel ke Gaza tampak tidak masuk akal. Apa untungnya bagi Israel membunuhi warga sipil Palestina dengan mengorbankan keselamatan tentaranya sendiri, menguras dana lebih dari Rp 800 triliun, dan pada saat yang sama merusak reputasi sendiri di mata dunia internasional?
Namun, Israel memiliki rasionalisasinya sendiri. Benar bahwa invasi ini hanyalah reaksi balasan Israel atas provokasi Hamas lewat serangan 7 Oktober 2023. Artinya, Israel bukan inisiator konflik, setidaknya jika konflik ini dilihat sebagai insiden terpisah dari konflik panjang Israel-Palestina (meski menjadikannya sebagai insiden terpisah sama dengan berlaku tak adil kepada Palestina).
Namun, tingkat kerusakan dan korban yang ditimbulkan oleh serangan balasan ini jauh di luar dugaan, bahkan saya kira di luar perkiraan Hamas sendiri. Balasan Israel bukanlah balasan biasa.
Baca juga Mengurai Rantai Kekerasan di Pesantren
Ada beberapa penjelasan yang bisa diberikan. Pertama, faktor politik domestik Israel. Saat ini Israel diperintah oleh kabinet paling kanan yang pernah ada sejak negara ini berdiri. Beberapa tokoh partai koalisi pemerintah secara terang-terangan mengemukakan gagasan untuk mengusir paksa semua warga Palestina dari Gaza. Bahkan ada menteri yang menyuarakan penggunaan senjata nuklir untuk menyerang Gaza.
Pada saat yang sama, keberlanjutan karier politik Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dalam ancaman. Sebelum konflik meletus, popularitas Netanyahu terus tergerus akibat berbagai kebijakan kontroversial dan skandal. Memberantas Hamas adalah pertaruhannya dalam upaya mempertahankan dukungan publik dan karier politik.
Apakah tujuan Netanyahu tercapai, itu soal lain. Hasil survei yang dipublikasikan Januari 2024 menunjukkan, 56 persen warga Israel mendukung dilanjutkannya invasi Israel untuk memberantas Hamas, tetapi hanya 15 persen yang menginginkan Netanyahu tetap berkuasa setelah perang berakhir. Dukungan terhadap aksi militer Israel di Gaza ternyata tidak berbanding lurus dengan dukungan terhadap Netanyahu.
Baca juga Puasa, Kedewasaan, dan Korupsi
Kedua, invasi ini menjadi kesempatan emas untuk membasmi Hamas. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali, setidaknya dalam sisa karier politik Netanyahu. Dengan bertindak sekarang, Israel memiliki alasan sebagai ”legitimasi” setelah diprovokasi oleh Hamas, terlepas dari valid tidaknya ”legitimasi” tersebut dan betapa berlebihannya serangan balasan yang dilancarkan.
Selama ini Hamas ibarat duri dalam daging bagi Israel. Ideologi dan pandangan politiknya yang ekstrem membuat Hamas tidak dapat hidup berdampingan dengan Israel sampai kapan pun. Bagi Hamas, negara Israel tidak berhak ada dan karena itu harus dimusnahkan. Hamas juga kerap melakukan provokasi dengan melancarkan serangan roket ke wilayah Israel.
Baca juga Putus Sekolah dan Pembangunan Berkelanjutan
Penjelasan ketiga, dan yang menjadi inti tulisan ini, berkaitan dengan tatanan geopolitik global yang saya sebut di muka. Kenekatan Israel bisa dijelaskan dalam konteks menguatnya multipolarisme yang diiringi dengan meningkatnya potensi konflik dan perang di berbagai belahan dunia.
Tatanan dunia multipolar
Dalam opini di harian Kompas (22/7/2023) berjudul ”Indonesia di Tengah Dunia Multipolar”, saya menulis bahwa saat ini kita hidup di era multipolar di mana kekuatan dunia terdistribusi ke banyak aktor.
Dalam tatanan multipolar, kemungkinan meletusnya perang lebih besar karena setiap kekuatan bersaing demi kepentingan pribadi dengan mengabaikan kebaikan kolektif. Tak ada kekuatan dominan yang mampu menjaga keseimbangan tatanan. Multipolarisme di paruh pertama abad ke-20 yang berujung pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II bisa jadi referensi historis.
Saya berargumen bahwa perang di Ukraina dapat memicu efek domino karena beberapa alasan, antara lain kegagalan dunia internasional mencegah agresi Rusia dan memberikan sanksi yang berefek jera bagi Rusia.
Baca juga Aksi Perundungan Siswa Semakin Mencemaskan
Hal ini akan dilihat oleh aktor lain sebagai sinyal bahwa melanggar hukum internasional bukanlah masalah besar dan ”menginspirasi” mereka untuk melakukan pelanggaran serupa. ”Jika Rusia bisa, kenapa saya tidak?”
Itulah yang dilakukan Israel kurang dari dua tahun sejak agresi Rusia ke Ukraina, dan sekitar tiga bulan sejak artikel saya di harian Kompas terbit.
Berbekal ”aji mumpung” (mumpung ada alasan), Israel membabi buta membumihanguskan Gaza. Para pakar menyebut tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh invasi Israel lebih parah dari serangan tentara Sekutu atas Jerman pada Perang Dunia II. Sementara Oxfam menyebut invasi Israel ke Gaza merupakan konflik paling mematikan di abad ke-21.
Baca juga Etika Penggunaan AI dalam Jurnalisme
Logika ”jika Rusia bisa, kenapa saya tidak?” dari sudut pandang Israel dapat diterangkan sebagai berikut. Pertama, musuh yang dihadapi jauh lebih lemah (asymmetric warfare). Secara militer, Ukraina lebih lemah dari Rusia, dan Hamas jelas lebih lemah dari Israel.
Kedua, Dewan Keamanan PBB dapat ”dikondisikan”. Rusia memiliki hak veto, sementara Israel mengantongi dukungan penuh (unconditional support) AS yang juga pemilik hak veto. Baik Rusia maupun Israel tidak perlu khawatir dengan langkah apa pun yang mungkin akan diambil DK PBB karena bisa mencegahnya. Ini terbukti dengan gagalnya berbagai rancangan resolusi DK.
Ketiga, meski musuh memiliki sekutu, diyakini dukungan dari sekutu tersebut tidak akan optimal sehingga tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Rusia mungkin sedikit miskalkulasi karena ternyata dukungan Barat terhadap Ukraina cukup kuat meskipun tetap tidak memadai untuk mengakhiri agresi.
Baca juga Zaman Ruwaibidhah
Sementara dukungan yang diterima Hamas dari sekutunya sangat mungkin sudah dalam kalkulasi Israel. Hal ini terlihat dari kesiapan Israel melancarkan serangan ke berbagai lini di luar Gaza. Ditambah lagi, Israel sangat yakin dukungan AS selalu bisa diandalkan, yang terafirmasi oleh aliran bantuan dana ataupun senjata dari AS ke Israel untuk perang.
Keempat, musuh harus diperangi karena menjadi duri dalam daging. Rusia merasa terancam karena Ukraina ingin bergabung dengan NATO, sementara hubungan Hamas dengan Israel seperti telah saya kemukakan di muka.
Dari berbagai poin di atas, saya berhipotesis bahwa Israel terinspirasi oleh Rusia. Invasi ke Gaza adalah sebuah pernyataan ”Jika Rusia bisa, kenapa Israel tidak?” Efek domino perang di Ukraina sebagai simtom multipolarisme telah menunjukkan gejalanya. Lebih mengkhawatirkan lagi, sangat mungkin ini bukanlah kartu terakhir. Kartu-kartu yang lain hanya menunggu waktu untuk roboh. Pertanyaannya, apa kartu berikutnya?
Baca juga Menjadi Guru yang Humanis
Tak ada yang tahu pasti. Berkaca dari pengalaman, kita kerap tak siap dengan krisis baru yang muncul tak terduga, seperti diingatkan oleh Nassim Taleb dalam Black Swan. Ketika dunia dihebohkan dengan perang dagang AS-China, muncul pandemi Covid-19. Belum tuntas pandemi ditangani, pecah perang di Ukraina. Saat perhatian dunia tertuju ke Ukraina, meletus tragedi di Gaza.
Bukan tak mungkin ketika Gaza masih membara, muncul konflik di tempat lain yang tak disangka-sangka. Sementara kita masih saja dibuat terkejut dan gelagapan, bahkan setelah pengalaman berulang kali mengajarkan bahwa sejarah penuh dengan hal-hal tak terduga.
Indonesia harus waspada
Terlepas dari kesulitan memprediksi kartu berikutnya, yang jelas kita tahu di kawasan Indo-Pasifik ada titik-titik api yang berpotensi menjadi kartu tersebut, seperti Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Selat Taiwan. Oleh karena itu, Indonesia harus selalu waspada. Sambil terus mengupayakan solusi bagi Palestina, Indonesia tidak boleh abai terhadap potensi konflik yang ada di halaman rumah sendiri.
Untuk itu, upaya menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan harus terus digalakkan. Semua sarana yang ada harus dioptimalkan untuk memastikan Indo-Pasifik tetap menjadi kawasan yang damai, stabil, dan makmur. Salah satunya melalui ASEAN dengan segenap mekanismenya. Selama lebih dari setengah abad, ASEAN telah berkontribusi menjaga perdamaian dan pertumbuhan di kawasan. Peran ini akan kian relevan ke depan di tengah meningkatnya potensi konflik di alam multipolar.
Indonesia, sebagai pemain utama di ASEAN, harus menjadi yang terdepan dalam upaya ini. Hasil keketuaan Indonesia di ASEAN tahun lalu menjadi modal yang baik dan perlu terus dikawal bahkan diamplifikasi agar memiliki multiplier effect yang tinggi. Ini akan menjadi tugas sekaligus tantangan bagi pemerintah baru lima tahun ke depan.
*Artikel ini terbit di kompas.com, Sabtu 9 Maret 2024
Baca juga Terang Peradaban melalui Buku